Insitu Recordings

From Issue 2

Art Music Today: Wawancara bersama Erie Setiawan

Putu Eman Sabudi Subandi

Saya kira tidak ada satupun negara yang mampu menyaingi kekayaan material musik yang ada di Indonesia.
Tidak ada bandingannya!

Erie Setiawan

Erie Setiawan adalah salah satu tokoh yang paling aktif dalam dunia literatur musik di Indonesia. Sebagai pembangun dan direktor penerbit Art Music Today (AMT), Setiawan telah mempublikasikan puluhan buku musik dan juga turut berkolaborasi dengan penerbit lainnya. Karya buku terbitan AMT merupakan karya penulis dan komposer Indonesia, bahkan terjemahan dari buku-buku penulis luar negeri. Selain penerbitan buku, AMT juga merilis rekaman audio berupa CD, diantaranya rekaman gamelan, jazz, musik kontemporer, musik klasik, world music, dan sebagainya. Setiawan dan rekan-rekannya juga sering membuat acara musik di Yogyakarta, seperti konser, workshop, dan seminar untuk memperluaskan pemahaman pendengar musik kontemporer di Indonesia khususnya. Saya mengetahui Setiawan sebelumnya hanya melalui sosial media dan belum pernah bertemu langsung. Dengan rasa kagum, saya berkehendak menghubungi Setiawan untuk ingin mengetahui tentang bagaimana hubunganya antara aktivitasnya Art Music Today secara lebih dalam. Berikut adalah hasil wawancara saya dengan Setiawan.

Eman: Bagaimana mas Erie mulai tertarik oleh sastra dan musik? Bagaimana perjalanan sampai menulis tentang musik?

Erie: Sebetulnya sejak SMA sudah mulai. Waktu itu selalu penasaran untuk musik, terutama band rock. Terus saya menulis semacam diary pribadi. Itu cuma catatan-catatan harian yang tidak serius, tapi memang minat pada bahasa Indonesia dimulai sejak SD. Aku suka pelajaran mengarang. Biasanya kalau ada tugas menulis, kita dikasih folio empat sisi. Teman-teman biasanya buatnya satu lembar atau setengah lembar. Aku malah menambah folio lagi. Aku suka bercerita. Terus ketika mulai kuliah di ISI pilihannya cuma dua yaitu musikologi dan musik pendidikan. Saya disarankan oleh guru gitar saya “kayaknya kamu lebih cocok ke musikologi.” Seorang guru harus kita ikuti. Rencana studi betul-betul berbeda dari aktifitas main musik: harus baca buku, menulis, membuat review, dan sebagainya. Di musikologi disiplinnya waktu sangat ketat. Kita belajar tinjauan reportoar musik sampai enam. Terus ada mata kuliah kritik musik dan kajian musik. Sejak awal kuliah saya sudah menulis di jurnal kampus, majalah dinding, dan di media masa juga. Saya jadi pengurusnya jurnal Jurasik Today yang mewadahi mahasiswa yang suka menulis. Disamping itu saya terus menulis harian dan juga mendatangi seminar-seminar.

Em: Ada penulis yang menginspirasikan mas Erie pada waktu itu?

Er: Sewaktu-waktu aku membaca tulisannya MH Inun Hajib yang berjudul Selilit Sang Kiai. Selilit itu benda yang nyangkut di gigi. Isinya buku itu kumpulan essay tentang topik-topik sepele tapi penting. Itu mempengaruhi saya pada waktu tahun 2003 atau 2004 sampai saya punya disiplin untuk menulis satu artikel sehari, entah panjang atau pendek, untuk melatih kebiasaan.

Em: Berarti mas Erie punya banyak tulisan dari waktu kuliah?

Er: Ya, jadinya terkumpul lebih dari 200-an artikel, meskipun ada bolong. 

Em: Saya dengar mas Erie sudah mulai menulis buku juga sejak di bangku kuliah namun tidak dipublikasikan secara umum. Bisa ceritakan buku itu tentang apa?

Er: Dari awal dulu saya menulis banyak artikel, hampir setiap minggu. Topiknya macam-macam, karena saya punya minat banyak sekali seperti refleksi pribadi, tentang sosial, terus sesekali tentang analisa musik. Itu dikumpulkan menjadi buku yang dipublikasikan sebetulnya secara umum tapi tidak di toko-toko yang umum. Waktu itu saya coba ke Gramedia dan Toga Mas, tapi tidak laku, karena yang dijual di umum syaratnya harus menarik dan harus mempertimbangkan kalayak umum. Buku saya spesifik banget! Jadi akhirnya pasar yang saya bentuk sampai saat ini adalah universitas atau perguruan tinggi yang punya program musik dan komunitas-komunitas musik maupun individu-individu yang bekerja dalam dunia musik: seperti guru, arranger, komponis, dan segala macam. Peta ini sudah terbentuk kalau saya membuat buku. Arahnya mau kemana sudah ada mipingnya. 

Em: Kemudian bagaimana karir sebagai penulis mulai terjun?

Er: Setelah lulus saya diajak gabung sama mas Joko Gombloh untuk menulis di majalah Seni Budaya Gong. Saya jadi wartawan meliput peristiwa seni budaya yang ada di Jogja maupun di Indonesia. Dari sana saya mulai belajar menulis tidak hanya topik-topik yang berhubungan dengan musik, melainkan tentang seni pertunjukan dan seni rupa. Dulu majalah Gong jadi langganan di kampus-kampus seni di banyak tempat. Saya bersyukur ketika lulus itu ada dua pilihan yaitu menjadi dosen ISI dan ditawari jadi wartawan. Ada kebimbangan yang luar biasa pada waktu itu, dan saya akhirnya lebih memilih menjadi wartawan biar bisa kenal seniman, kenal keliling-keliling, dan belajar menulis secara lebih dalam lagi.

Em: Terus tahun berapa membangun Art Music Today? Bagaimana idenya muncul?

Er: Bersamaan saya bekerja di Gong itu, saya dengan teman-teman, mas Gatot, Toni Maryana, Ibnu, dan Yandi mendirikan AMT pada tahun 2008. Memang saya dengan mas Gatot sejak di kampus sudah sering aktif bersama-sama membangun organisasi dengan kegiatan-kegiatan di kampus. Kita launching AMT pertama kali di Jogja Nasional Musium pada tanggal 24 Agustus 2008, jadi baru 10 tahun. 

Em: Teman-temannya penulis juga?

Er: Mas Gatot memang seorang komposer. Mas Roni komposer juga, tapi lebih ke komputer musik atau elektronik musik. Kita saling melengkapi dan mengisi.

Em: Apakah AMT langsung mengalami sukses? Bagaimana kesulitan waktu membangunnnya?

Er: Tidak langsung. Waktu launching kita mengundang seniman-seniman dan komposer-komposer Jogja, tapi tidak banyak yang datang. Di situ kita dikritik habisan-habisan juga, “ini nanti eksistensi pribadinya.” Biasalah. Waktu itu aku, mas Gatot dan mas Roni presentasi, dan ada banyak ketidak-percayaan dengan ide-ide yang kita mau realisasikan. Tapi waktu itu kaedahnya masih menggebu-gebu. Kita jalan saja.

Em: Apa saja ide-ide yang ingin direalisasikan dengan AMT?

Er: Setelah sekitar lima tahun kita menjalankan bersama, kita memfokuskan pada lima hal yang kita kerjakan, walaupun awalnya kita beranjak dari dokumentasi. Lima fokus itu yaitu pemgembangan audiens, informasi musik, program pendidikan, dokumentasi, dan perpustakaan. Pada tahun 2014 kita berkembang menjadi lembaga yang kita namakan lembaga Pusat Informasi Musik. Kedepannya kita ingin punya semacam Music Information Center yang kerjanya meliputi mereka punya data base tentang komposer-komposer, yaitu siapa komposernya, perkembangan musik, kontaknya, dokumentasi diskografinya dan jaringan. Ini kita ingin mengembangkan lagi menjadi Music Research Center. Di situ aku bermimpi sama teman-teman punya lahan yang begitu luas supaya bisa ada tempat pentas, studio untuk latihan dan rekaman, perpustakaan audio dan buku, dan ruang khusus untuk penelitian. Minimal kita punya lahan sebesar kayak Tembi atau Bentara Budaya misalanya. Di Jogja sendiri mencari gedung konser sangat problematis. Tidak ada tempat yang cocok menampilkan musik-musik dari segi akustik, soal jarak, dan perijinan. Meskipun tidak mudah, saya dan teman-teman sangat ingin mencapai itu. Music Research Center itu di Indonesia belum pernah ada.

Em: Apa yang harus terjadi sebelum mas Erie dan teman-teman bisa membangun itu? Pasti perlu support yang besar sekali.

Er: Benar. Kita mengakui AMT itu berjalan sangat lamban karena kita tidak bergantung dengan siapapun, apalagi pemerintah. Kita hanya bekerja semampu kita yang mengandalkan donasi-donasi dari kolega-kolega, bahkan sangat sering tombok untuk suatu kegiatan. Dilematis, tapi kita berusaha membangun entah sampai kapan. AMT mempunyai orientasi berbeda dengan semata terbitan. Kita punya rekan bergerak yang memang sebagai sub-niaganya atau setengah bisnis, setengah gotong royong. AMT menghasilkan profit meskipun tidak signifikan untuk men-support secara ideal. Orientasinya memang jangka panjang sebagai organisasi, rekan bergeraknya, dan penerbit. AMT sama sekali tidak mencari keuntungan atau apapun, tapi harus ada sumber dana yang bisa mebiayai semua kerja-kerjanya. 

Em: Bagaimana mas Erie melihat keadaan AMT diantara media risert lainnya yang sudah ada di Indonesia, misalnya diantara insitusi atau universitas musik?

Er: Jadi pada awal AMT, kita mewadahi pendokumentasian sebetulnya, dan fokus adalah contemporary music. Di Indonesia ini belum ada satu lembaga, komunitas atau institusi yang fokus untuk mendokumentasikan kekaryaan-kekaryaan musik kontemporer. Seiring berjalannya waktu sejak kita berdiri tahun 2008, mulai banyak bermunculan organisasi-organisasi musik yang mulai berfokus pada dokumentasi, tapi bukan musik kontemporer. Ada Laras yang fokus pada kajian musik dan sosial. Ada juga mungkin komunitas-komunitas yang berfokus pada dokumentasi musik-musik folk. Belum ada pendokumentasian khusus karya-karya gamelan di Jogja. Ada Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang mendokumentasikan musik-musik seriosa, musik-musik klasik Barat dari jaman sebelum kemerdekaan sampai era-era modern. Prinsipnya satu sama lain jelas saling melengkapi, walaupun AMT pada akhirnya menyesuaikan dengan perkembangan atau dinamika jaman. Jadi tidak bisa banyak fokus dengan musik kontemporer saja. Kita bekerja pada wilayah dokumentatifnya dan kita juga nyemplung atau berkoneksi dengan musik jazz misalnya. Kita punya rekan penggerak yang awalnya dibentuk sebagai sub kerja-kerja dokumentasi dengan merekam banyak sekali peristiwa musik yang khususnya terselenggara di Jogja, baik karya-karya dari mahasiswa maupun karya-karya profesional. Kita punya data base sekaligus untuk risert bagaimana perkembangan musik itu. Terus kita juga punya ivan untuk pertemuan musisi-musisi. Ada beberapa kerjasama-kerjasama dengan pihak lain untuk penyelenggaraan-penyelenggaraan diskusi, jadi intinya saling terhubung satu sama lain, karena faktanya di Jogja ini sangat banyak yang kita temukan.

Em: Berarti penulis-penulis dari banyak aliran menjadi relevan. Siapa saja yang bisa menerbitkan buku di AMT?

Er: Siapa sajalah. Kita bisa mulai dari jin, malaikat, atau kalau di Bali namanya leak [ketawa]. Ya, kita seleksi dulu dalam beberapa pengertian. Kita lihat proteksnya: buku ini kalau dijual kira-kira laku atau tidak? Buku ini sistemnya mau bagaimana? Biasanya ada yang minta diterbitkan. Kita yang membiayai semua. Kalau bukunya semuanya laku, atau penulis yang membiayai semua penerbitannya, terus nanti kita bagi hasil dari distribusi. Terakhir aku menerbitkan buku Notasi Musik Abad ke-20 dan 21 karya Septian Dwi Cahyo. Bukunya susah dijual, tapi aku yang mau menerbitkannya. Bukunya Septian itu buku yang sangat spesifik, dipahami hanya komposer dan musikolog yang berminat pada musik kontemporer. Aku tidak banyak mencetak buku ini. Aku mau spekulasi dulu buku ini, mau lihat semangat penulisnya dan peta pasar penjualannya dulu. Kalau buku Estetika Musik karya Pak Suka Hardjana itu laris dan itu untuk semua kalangan. Buku Virus Setan itu laris, dan Slaman Slumun Slamet juga laris. Buku IMAGI-NATION punyanya Vincent McDermott aku nyetak 1100 itu habis. Kalau buku yang dikatakan komersial, itu mencetak minimal 2000 eksemplar,  dan baru ada profit kalau terjual habis. Namun AMT masih bermain di 500 sampai 1000 eksemplar dan sudah habis di kalangan universitas, perguruan tinggi dan komunitas-komunitas di Indonesia.

Em: Bagaimana cara atau proses penjualan buku AMT ke luar daerah?

Er: Sistem “titip edar” istilahnya. Kuncinya adalah kita punya re-seller di belasan kota yang siap diedarkan. Seperti waktu ini ada di Bali berhasil menjual banyak banget, sampai hasilnya 2 jutaan rupiah. Waktu itu termasuk diapresiasi bagus oleh teman-teman di Bali.

Em: Mas Erie menyebut universitas sebagai kalangan untuk buku-buku AMT. Apakah buku AMT pernah dikaji mahasiswa atau dosen di ISI? Bagaimana hubungan AMT dengan institusi-institusi sebenarnya?

Er: Ya, ini pertanyaan dilematis sebenarnya. Saya tidak tahu. Kalau diobrolkan atau dijadikan sumber-sumber referensi mungkin sudah cukup sering. Kalau dikaji secara ilmiah saya kira belum. Terus hubungan AMT dengan ISI sebetulnya baik-baik saja karena bagaimanapun dan dimanapun AMT itu berasal dari situ. Sebagai almamater, saya punya janji pada himne ISI “berwatak dan berpribadi sebagai seniman sejati” dan harus bagaimanapun membawa nama ISI dimanapun saya berada. Ada Ikatan Keluarga Agung Alumni Musik atau IKA AMBISI yang menghubungkan kita semua yang sudah lulus. Kita saling berbagi pengalaman, terus kita saling mendukung. Sebetulnya kekuatan besar dari institusi apapun itu pada alumninya. Institusinya sendiri sebenarnya problematis, entah yang birokrasi, entah yang rebutan dana dan banyak hal. Sistem kerjanya beda. Kita sukanya bangun siang. Mereka harus bangun pagi pakai jas, harus ngabsen dan segala macam yang dibandingkan dengan kita yang cenderung santai. Pada prinsipnya adalah harus saling mendukung, karena kita juga tidak bisa hidup tanpa adanya institusi. Di situ banyak ada mahasiswa, ada banyak orang berbakat, ada banyak talenta-talenta yang harus bekerja sama dan saling dikembangkan bersama. 

Em: Kemudian bagaimana dengan penerbit-penerbit lain? Apakah AMT bekerja sama dengan penerbit buku musik lainnya?

Er: Ya, misalnya dengan Pusat Musik Liturgi, tapi itu tidak bekerja sama, cuma ngobrol-ngobrol saja. Dengan Laras memang kita bekerja sama. Laras kebetulan fokusnya ke musik dan sosial. Kalau AMT fokusnya ke musik dan rohani manusia. Kita tidak suka yang rumit-rumit. Musik kita pahami sebagai produk dari manusia yang bisa kita bedah secara teknis dan memang bidang kita mendalami analisis musik.

Em: Bagaimana tekanan-tekanan terhadap penerbit buku secara umum di Indonesia?

Er: Saya tidak kefikiran sampai sejauh ini. AMT juga masih dalam rangka risert untuk mencari penulis-penulis musik yang mempunyai skil mumpuni, khususnya yang bisa mengulas musik yang simpel tapi berbobot. Itu yang bisa menjadi bacaan oleh kalayak luas. Banyak yang melamar ke saya untuk karyanya yang ingin diterbitkan, tapi rata-rata berangkat dari karya ilmiah semacam disertasi, tesis, atau hasil penelitian. Biasanya  bahasa-bahasanya formal, jadi sulit untuk dimengerti. Terakhir Sagung menerbitkan buku Gender Wayang Singaraja dari temanku Nyoman Tri Yanuarta. Aku harus ngerombak total gaya bahasanya dari ilmiah menjadi ilmiah popular istilahnya. Dalam rangka itu tekanan-tekanan dari sisi lain adalah merangsang produktifitas penulis yang masih jarang. 

Em: Bagaimana cara mas Erie menjalin hubungan dengan komposer-komposer Indonesia atau luar negeri untuk AMT?

Er: Ini pertanyaan yang membuat saya bersemangat untuk menjawabnya, karena ini bagian dari area kerja kita yaitu networking dan bagaimana untuk bekerjasama dengan siapapun. Kita menjalin relasi dengan komposer dari mancanegara yang mempunyai sistem atau karakternya sendiri. Kalau di Indonesia kan gampang untuk bertemu atau berkomunikasi. Pendekatan kita yang paling sering untuk mengetahui dinamika itu adalah – karena saya pribadi senang jalan-jalan – saya datangi orang itu atau komunitas dan berkenalan dengan mereka. Kemudian ngobrol-ngobrol dengan mereka, terus membina relasi, dan kebetulan kalau ada komposer Indonesia yang dari Bali ke Jogja saya bikinkan ivan. Kebetulan waktu ini Dewa Alit mampir ke Jogja, dan saya bikinkan sharing tentang Salukat. Terus ada juga musisi dari Surabaya seperti musik Gergaji. Kidung Kelana kesini saya buatkan ivan juga konser. Sekarang ini dibandingkan mungkin 5 atau 6 tahun lalu lebih mudah. Awal-awal kita berdiri memang agak sulit karena faktor komunikasi. Dulu hanya ada Yahoo Massanger setelah Friendster. Masih eksklusif pada waktu itu. Kalau sekarang gampang bahkan sudah tidak ada hirerki lagi. Kamu terkenal atau enggak semua sudah bisa gampang berinteraksi dengan adanya Facebook, Instagram dan lainnya. Untuk mancanegara itu kita kadang-kadang ada beberapa pintu masuk, pertama adalah mereka punya proyek ke Indonesia. Mereka mungkin residensi kesini, terus kita bikin ivan, pementasan, diskusi, dan macam-macam. Terakhir yang datang kesini adalah direktur Holland Festival. Sebentar lagi akan ada Festival Musik Elektronik yang diselenggarakan oleh Kuta Institut untuk kerjasama dengan komposer atau seniman-seniman dari Jerman. Kita terlibat sebagai partner saja yang akan membahas beberapa konsep. Menariknya adalah kita bisa sharing banyak hal untuk membahas macam-macamlah entah itu komposisi musik, lingkungan atau konsis lingkungan yang selalu menarik menurut mereka. Kita bisa kapan saja bertemu dan ngobrol yang dimana belum tentu bisa dilakukan di negara-negara lain.

 

Publikasi-Publikasi dari Art Music Today

Em: Apa yang unik dari komposer Indonesia dibandingkan komposer dari negara lain?

Er: Singkat kata, kita harus bangga dengan apapun yang ada di Indonesia. Saya kira tidak ada satupun negara yang mampu menyaingi kekayaan material musik yang ada di Indonesia. Tidak ada bandingannya! Beruntung kita adalah negara kepulauan yang memiliki keragaman yang dibagi menjadi beberapa area geografi, seperti kepulauan Jawa, Sunda, Bali, Sumatera dan sebagainya. Itupun kalau kita pecah lagi menjadi wilayah atau teritori-teritori kebudayaan musik yang juga berbeda. Contoh kecil adalah gamelan di Solo dengan gamelan di Jogja sudah berbeda, padahal sama-sama Mataram, sama-sama Jawa. Ada perbedaan luar biasa besar dari segi sistem, ekspresi, dan gaya. Belum juga berbicara Bali dan Sumatera. Kemarin di Solo, saya lihat ada Jawa Delhi, komunitas orang Jawa yang tinggal di Delhi. Mereka membawakan Melayu campur Batak yang berbeda dengan musik Batak dan musik Melayu yang asli. Mereka memakai akordion, rebana, gondang, ada nyanyian, dan ada tariannya. Itu merupakan sekelumit contoh yang ada. Intinya bisa menjadi inspirasi atau sumber ide bagi komposer Indonesia untuk berkarya, dan tidak mungkin kamu temukan di Eropa.

Em: Siapa tokoh komponis Indonesia yang mas Erie ketahui memiliki keunikan seperti di atas?

Er: Misalnya Ukir Suryadi dan Ruli Sabar. Itu keduanya tidak berangkat dari sekolah musik, tetapi memiliki logika layaknya komposer. Mereka punya gairah atau hasrat untuk menciptakan sesuatu, mempertunjukan atau mengekspresikannya. Banyak contoh lagi, misalnya Dewa Alit dan A.L Suardi yang dari dulu meriset gamelan genta. Indu Suanda meriset gitar bambu, serta Sinta Wulur, komponis Indonesia yang tinggal di Belanda, membuat gamelan kromatis dan berkarya dengan media itu. Keunikan-keunikan kreatif di Indonesia itu terjadi karena adanya kayu. Ada tukang murah yang bisa diajak kerjasama kapan saja. Maka memungkinkan kita untuk menggali pendekatan kreatif itu seluas mungkin. 

Em: Bagaimana dengan ranah musik elektronik?

Er: Ya, apabila kita bagi-bagi lagi, ada juga wilayah synthesizer. Salah satu contohnya adalah Kelompok Kenali Rangkai Pakai dan Lintang Raditya. Mereka itu membuat synthesizer sendiri dan mengembangkannya menjadi Jogja Synthesizer Ansambel. Mereka punya synthesizer yang manual, unik sekali! Orang luar geleng-geleng melihatnya, karena mereka beli modul yang sudah jadi dan sendiri dibuat manual. 

Em: Bagaimana nasihat para komponis muda di Indonesia?

Er: Pokoknya kita harus optimis. Kemudian biasanya masalah terbesarnya kini adalah masalah ide dan kepercayaan kita terhadap bunyi. Jadi aku melihat ada banyak karya yang konsep dengan bunyi kadang-kadang tidak nyambung atau berseberangan.

Em: Kemudian bagaimana mengatasi hal itu?

Er: Terkadang teks dan konteks bagi komposer muda itu sering menjadi ambigu. Mau eksplor apa sih dalam karyamu? Sering sekali unsur kontekstual, atau dalam studi musik Eropa dan Amerika disebut programatik, menjadi hambatan. Ngapain dipaksakan juga? Kenyataannya bunyi sudah punya makna dan caranya sendiri untuk menyampaikan sesuatu. Kecuali untuk musik-musik yang memang bersyair, mungkin akan membantu. Misalkan kita mengolah sastra kuno atau kekawin dalam bentuk komposisi. Di sisi lain juga keberanian untuk mengeksplorasi dengan berfokus hanya pada elemen-elemen tertentu saja. Biasanya komposer-komposer muda kurang berani. Komposisi itu seperti kita melihat bangunan yang utuh. Kalau lihat detail-nya, kita akan melihat fondasi, genteng, teras, pintu, dan sebagainya. Kalau dalam musik kita jabarkan, menjadi sebuah strukturnya, gembyang, bentuk, harmoni dan macam-macam lagi. Komposer yang hebat menurutku adalah bila mempunyai kesabaran mengolah satu elemen saja, tapi secara maksimal. Jadi misalnya aku lihat karyanya A.L. Suardi. Aku tidak perlu melihatnya secara visual, walaupun gamelannya sangat unik karena dia bikin sendiri. Dia membuat gong menggunakan dawai pintu dari balok-balok yang dikasih senar. Bunyinya seperti gong, tetapi timbre-nya aneh. Warna suaranya menyimpan suara yang luar biasa, dan jarang-jarang kita dengarkan. Bukan perkara bagus atau tidaknya, tapi sebab kemampuannya untuk menemukan impresi baru terhadap pendengar. Dia hanya berfokus pada beberapa hal saja yang dia olah dalam karyanya, seperti struktur. Struktur ini bisa kita bedah lagi yaitu ada struktur ritme, melodi, atau timbre. Saya ingat perkataan Slamet Abdul Sjukur bahwa dia itu tidak bisa membuat karya cepat. Dia memang butuh waktu yang lama untuk betul-betul membuat bunyi itu hadir, tidak dalam kondisi yang prematur. Rata-rata komposer muda itu selalu terburu-buru, terkadang mengolah timbre, mengolah ritme, mengolah melodi, dikumpulin jadi satu tapi tidak ada yang istimewa yang bisa dibaca dari karya itu. 

Penulis harus mengulas musik secara seimbang. Kalau menulis tentang musik tidak dengan mendengar dan menghayati, maka tidak akan tercapai tulisan yang bagus.

Em: Jelas sekali mas Erie sudah banyak berpikir tentang adanya komposisi di Indonesia. Kembali ke bidang sastra, bagaimana situasi perkembangan literatur musik di Indonesia sejak dulu sampai kini?

Er: Aku dengan tim merisert perkembangan literatur dan musik dari tahun 1950-an sampai 2015. Kalau perkembanganya tidak begitu banyak. Jumlahnya kurang lebih 300 judul yang saya temukan dari terbitan pertama yang kita lacak tahun 50-an. Jadi bisa dikatakan masih jauh dari produktif. Tapi belakangan ini sudah semakin banyak, terutama yang mengulas musik folk dan industri. Sudah banyak kajian-kajian yang berhubungan dengan sosial. Semakin banyak yang meminati menulis musik juga, tapi tidak banyak dari kalangan sarjana musik. Kebanyakan dari antropologi, ilmu sejarah, fakultas sosial politik, dan lain sebagainya. Sekarang lebih variatif. Banyak orang yang tidak dari musik menulis tentang musik dengan pendekatannya dari bidangnya masing-masing. Dulu jarang, dan dimulai dari 5 tahun atau 10 tahun belakangan ini sudah meningkat. 

Em: Di mana perpustakaan terbagus di Indonesia?

Er: Di Jakarta ada. Perpustakaan Universitas Gajah Mada juga besar. Tapi yang terlengkap pastinya di Google.

Em: [ketawa] Siapa saja penulis Indonesia yang karya atau bukunya wajib dibaca? Buku apa yang direkomendasi?

Er: Kalau untuk musik folk atau indie itu bukunya Taufik Rahman. Terus tulisannya Arman Dani juga bagus. Bagi saya, buku-buku yang wajib dibaca misalnya dari Suka Hardjana dan Slamet Abdul Sjukur. Ada buku terbaru judulnya 100 Konser Musik di Indonesia. Itu memuat 100 peristiwa konser musik yang ada di Indonesia sejak 1928, pertama kali Indonesia Raya dinyanyikan, termasuk beberapa konser gamelan juga. Buku ini sifatnya adalah pendokumentasian.

Em: Apa nasihat yang wajib diketahui bagi seseorang menuju karir sebagai penulis?

Er: Disiplin teknis untuk melatih skill. Dimanapun dan kapanpun kita harus berfikir ada sesuatu yang penting untuk kita dokumentasikan. Meskipun hanya 100 kata setiap hari, harus tetap menulis. Terus baca sebanyak mungkin. Buku itu akan berpengaruh meskipun tidak dibaca sepenuhnya. Sediakan waktu yang cukup. Biasanya kalau saya menulis mulai dari jam 2 pagi sampai jam 4 pagi setiap hari, tidurnya pagi bangunnya pagi melebihi Bang Toyib [ketawa]. Saya suka menulis yang gampang dipahami, karena aku tidak terbiasa menulis ilmiah. Aku berfikir bagaimana kalau anak-anak SMA membaca tulisanku, bisa tidak sih? Mungkin kalau mereka bisa mengerti 70% sudah saya bersyukur, dibanding mereka harus membaca buku tentang musik tapi berat. Kalau kita hanya belajar menulis di perguruan tinggi, metode penelitian misalkan output-nya pasti berat, karena kita tidak belajar tentang jurnalistik. 

Em: Dan sebagai pertanyaan terkahir, apa harapan mas Erie bagi generasi muda?

Er: Ya biarin saja. [ketawa] Penulis harus mengulas musik secara seimbang. Kalau menulis tentang musik tidak dengan mendengar dan menghayati, maka tidak akan tercapai tulisan yang bagus. Ketika aku melihat sekilas lalu menuliskannya tanpa menghayatinya, aku merasa tidak tega juga. Bahkan ketika aku sudah menghayati pun, juga belum tentu berani menuliskannya juga, karena aku melihat apa bisa tulisanku lebih bagus dari karyanya dia? Apa bisa tulisanku mendukung bobot dari karya itu? Ini tantangan tersendiri bagi penulis. Bagaimana memporsikan sudut pandang subjektif kita dengan objektivitas bagi yang mau baca. Seringkali tulisan-tulisan musik itu rata-rata masih 78% subjektif tentang selera, padahal tuntutannya harus seimbang. Aku pernah nulis karyanya Dieter Mack yang menggunakan gamelan Bali waktu di Solo. Itu juga aku kesulitan karena karyanya aja aku nikmati sudah sangat bagus. Bagaimana caraku menulisnya supaya tidak menjatuhkan karyanya atau membuat karya itu menjadi berseberangan dengan apa yang aku tulis? Tantangannya tulisanku harus tepat membahasakannya. 

Em: Ok, mas. Terima kasih atas waktunya.

Er: Sama-sama

Putu Eman Sabudi Subandi (wawancara), I Wayan Ari Widyantara (transkripsi)

Learn more about Setiawan’s work at Art Music Today:

About the author(s)

Eman Sabudi Subandi (Putu Emon)

People and organizations mentioned in this article

Erie Setiawan

Erie Setiawan lahir di Solo, 11 Januari 1984. Menamatkan pendidikan S1 Musikologi di Insititut Seni Indonesia Yogyakarta (2007). Pada 2008 ia bersama rekan-rekannya mendirikan “Art Music Today”, sebuah jejaring musik yang berfokus pada dokumentasi, informasi, edukasi, dan pengembangan audiens.
Aktifitasnya dalam dunia musik tergolong beragam, baik sebagai musikus, wartawan, penulis, produser, penyelenggara, narasumber, kurator, maupun konsultan pengembangan edukatif. Sebagai penulis Erie telah menerbitkan tulisan di sejumlah media massa cetak dan online, antara lain: Jawa Pos, Kompas, Koran Tempo, Suara Merdeka, Visual Art, Compusician News, Tirto.id, dan lain-lain. Pada tahun 2008-2010 ia bekerja sebagai redaktur di Majalah Seni Budaya “Gong”.
Ia juga merintis AMT Publisher (2013), sebuah penerbit yang berfokus pada produktivitas dan pengembangan literatur musik di Indonesia. Melalui AMT Publisher ia menulis dan menerbitkan sejumlah buku, di antaranya:Memahami Musik dan Rupa-rupa Ilmunya (2014), Intuisi Musikal (2015), Musik Untuk Kehidupan (2015), Membaca Musik dari Masa ke Masa: Katalog Literatur Musik Berbahasa Indonesia dalam 5 Dekade (2016), Dari Bunyi Ke Kata: Panduan Praktis Menulis Tentang Musik (2016), Filosofi Pendidikan Musik: Kritik dan Renungan (2017).
Buku-buku lain dalam bentuk antologi dimana ia ikut menulis antara lain: Arsipelago: Pengarsipan Seni dan Budaya Indonesia (IVAA, 2014), Terluput dan Terlupa: Musik Klasik di Masyarakat Indonesia (Yayasan Klasikkanan, 2016), Menakar Kuasa Ingatan: Catatan Kritis Festival Arsip IVAA 2017 (IVAA, 2018). Ia juga menjadi editor dan menerbitkanbuku-bukuyang ditulis oleh Suka Hardjana, Slamet A. Sjukur, Triyono Bramantyo, Vincent Mc. Dermott, dan sejumlah penulis generasi muda: Gardika Gigih, Septian Dwi Cahyo, Nyoman Triyanuartha.
Aktifitas terkini lainnya adalah menjadi pengamat musik untuk Festival Musik Tembi (2015-2018), fasilitator program musik kontemporer tahunan October Meeting (2016, 2017, 2018), kurator untuk pameran alat musik tradisi di Yogyakarta Gamelan Festival (2017), pembicara Diskusi Seni Festival Kesenian Yogyakarta (2017), dan tim artistik untuk pertunjukan pembuka Festival Arsip IVAA (2017). Selain kerap memberikan presentasi di berbagai forum musik di berbagai kota di Indonesia, ia juga menyampaikan pemikiran di forum-forum lintas negara, beberapa yang terkini antara lain di Singapura (2015), Australia (2016), Hongkong (2018).
Yogyakarta, Java, Indonesia

© Insitu Recordings 2018