Insitu Recordings

Tentang Koleksi Musik Basel-Bali

Tujuan dari pengerjaan Koleksi Musik Basel-Bali adalah menyediakan materi audio/video yang direkam oleh orang-orang yang terkait dengan Universitas Basel, Swiss selama paruh kedua abad ke-20 (sekitar 1942-1991). Memindahkannya secara online akan memberi kepastian bahwa konten ini tetap dapat diakses oleh orang-orang yang paling mendapat manfaatnya: orang-orang di desa-desa dimana praktik-praktik yang sudah terdokumentasi itu tetap dijalankan sesuai adat desa.

Bahan-bahan dalam koleksi yang lebih luas ini diambil dari enam sub-koleksi terkait, semuanya berfokus pada musik ritual gamelan nada tujuh gambang, selunding, caruk dan gong luang/saron. Yang pertama terdiri dari rekaman kawat, wax-roller, dan rekaman pita yang dibuat oleh Ernst Schlager dan Theo Meier antara tahun 1942 dan 1946. Yang kedua terdiri dari rekaman pita yang dibuat oleh Theo Meier, atas nama Ernst Schlager, pada tahun 1950-an dan 1960-an. Yang ketiga terdiri dari rekaman-rekaman yang dibuat oleh Hans Oesch dengan bantuan dari Theo Meier pada tahun 1969. Yang keempat, dan terbesar, terdiri dari rekaman tape dan film yang dibuat oleh tim peneliti yang mempunyai kaitan dengan Universitas Basel yang berada di Bali antara tahun 1972 dan 1973. Termasuk didalamnya materi yang dikumpulkan dibawah arahan Urs Ramseyer, Tilman Seebass dan Danker Schaareman. Yang kelima terdiri dari sejumlah rekaman yang dibuat oleh Hans Oesch dengan bantuan Theo Meier pada tahun 1974. Dan yang keenam terdiri dari rekaman kaset yang dibuat oleh Stephen Mueller pada tahun 1977, oleh Danker Schaareman antara 1980 dan 1991 (kadang-kadang dibuat bersama dengan Barnie Palm, Dieter Mack, dan Andrew Toth), dan dibuat oleh Wayne Vitale pada tahun 1983.

Semua rekaman suara yang terkait dengan sub-koleksi ini, tidak termasuk yang dibuat oleh Urs Ramseyer, Stephen Mueller,  dan Wayne Vitale, disimpan di Institut Musikologi di Universitas Basel hingga dipindahkan ke Fonoteca Nazionale pada 2018. Setelah kembali dari Bali pada 1974,1 Ramseyer menyimpan rekaman suara dan film di Museum Budaya di Basel. Materi-materi ini utamanya direkam di daerah Tenganan dan Sidemen-Iseh-Selat dan belum didigitalkan. Rekaman suara yang dibuat oleh Vitale pada tahun 1985 tetap dipegangnya, tetapi salinan digital untuk koleksi ini sudah tersedia. Setelah kembali dari Bali pada tahun 1973, rekaman suara yang dibuat oleh Tilman Seebass dan Danker Schaareman disimpan di Institut Musikologi di Universitas Basel, bersama rekaman sebelumnya yang dibuat oleh Schlager, Meier dan Oesch, tetapi film dikirim ke Institute for Scientific Film (IWF) di Göttingen, Jerman. Antara 1974 dan 1985 beberapa film dokumenter yang menggunakan bahan rekaman ini beserta rekaman yang dikirim dari Museum Budaya oleh Ramseyer, diterbitkan oleh IWF (lihat daftar film yang diterbitkan di bawah). Namun, ketika IWF dibubarkan pada tahun 2011, semua bahan baku yang mereka miliki, termasuk film-film mentah yang dikirim Ramseyer dari Museum Budaya di Basel, dipindahkan ke Technische Informationsbibliothek (TIB) di Hannover, Jerman. Menurut TIB, transfer ini tidak termasuk film-film mentah berharga dengan fokus pada musik yang direkam oleh Seebass dan Schaareman dan dikirim ke “pemilik” (Tilman Seebass) di Innsbruck, Austria. Sejauhmana kami tahu, rekaman film-film mentah ini tidak pernah diterbit. Film-film mentah buatan Ramseyer yang belum dikirim ke IWF untuk film-film dokumenter, ditransfer dari Museum Budaya di Basel ke Cinématèque Suisse di Lausanne pada tahun 2020.

1 Setelah penelitian 1972-1973 berakhir, Ramseyer tetap di Bali, terutama di Tenganan, selama setahun lagi, pergi pada tahun 1974.

Danker Schaareman dan Peter Horner di rumah Dr. Anak Agung Made Djelantik, Kintamani, Bali, 1972, foto oleh Bernadette Waldis (copyright Museum Budaya, Basel, Swiss, nomor arsip: 29741)

Pendaftaran diperlukan.

Bantu kami menjaga koleksi ini.

File Sudah Tersedia
0

Pengerjaan proses material adalah sebagai berikut:

  1. Digitalisasi, penyambungan dan proses materi audio dan video
  2. Memperbaharui indeks/daftar sementara yang dibuat pada tahun 1970-an
  3. Menyusun katalog materi digitalisasi dan memperbaharui metadatanya
  4. Mendistribusi material (DVD, flash disk, bahan cetak) ke desa; mengumpulkan informasi yang tidak lengkap; meminta izin untuk menjadi pengelola materi secara online
  5. Mengunggah materi ke situs web yang dapat diakses publik

Bahan yang sedia saat ini

Diterima, didigitalkan, diproses, dikembalikan ke Bali dan disediakan on-line.

10%

Perlu dicatat bahwa apa yang saat ini terdapat dalam koleksi Basel-Bali hanya mencakup sebagian kecil dari materi yang pernah dikelola oleh Institut Musikologi di Universitas Basel.

Koleksi Musik Basel-Bali mengandung rekaman pada enam sub-koleksi berkaitan. Bahan yang disedikan sekarang berasal dasri semua koleksi selain koleksi pertama, dan hanya rekaman yang direkam di desa Asak. Rekaman tambahan akan ditambah desa demi desa.

  1. 1942-1946: rekaman tape, wire, wax-roller oleh Ernst Schlager and Theo Meier
  2. 1950s-1960s: rekaman tape oleh Theo Meier atas permintaan Ernst Schlager
  3. 1969: rekaman tape oleh Hans Oesch dengan bantuan Theo Meier
  4. 1972-1973: rekaman tape and film oleh Urs Ramseyer, Danker Schaareman, and Tilman Seebass
  5. 1974: rekaman tape oleh Hans Oesch dengan bantuan Theo Meier
  6. 1977-1991: rekaman tape oleh Stephan Mueller, oleh Danker Schaareman antara 1980 and 1991 (sesekali dibantu Barnie Palm, Andrew Toth, and Dieter Mack), dan oleh Wayne Vitale di 1983

Pada tahun 1972 dan 1973 rekaman audio dibuat dengan alat rekam Nagra Kudelsky IV-S dan III (mono), sebuah Stellavox AMI Stereomixer, Shure 545 SD dynamic directional microphones, AKG C 451 E condenser directional microphones, dan Scotch 207 serta Agfa 525 tape. Kecepatan pita perlu dipilih dengan teliti. Pada Nagra Kudelski terdapat tiga kecepatan merekam: 9.5cm/s, 19cm/s and 38cm/s yang mempengaruhi jumlah waktu yang dapat direkam pada satu pita. Reel pita terbesar yang dapat digunakan pada Nagra Kudelski adalah 19cm yang umum digunakan (sewaktu-waktu juga reel 9.5cm digunakan). Karena tim jarang tahu berapa lama pemain akan main, reel 19cm dengan kecepatan 19cm/s umumnya digunakan. Kecepatan tertinggi yaitu 38cm/s yang menghasilkan mutu rekaman tertinggi hanya digunakan jika kami tahu sebelumnya lamanya waktu main, karena kami takut akan habis pita sebelum musik selesai.

Penempatan mikrofon juga merupakan suatu tantangan, khususnya terkait suara musik. Di Bungaya, anggota tim diperbolehkan naik keatas Bale Agung dimana gambang dimainkan, tetapi tidak diperbolehkan meletakan mikrofon pada posisi lebih tinggi dari alat musik. Di Asak, hanya para musisi dan taruna diperbolehkan naik ke Bale Suci dimana gamelan selunding dimainkan, sehingga peralatan rekam ditaruh dibawah sedangkan mikrofon ditaruh diatas bale oleh salah satu pemain sesuai petunjuk tim. Jika merekam pada saat upcara berlangsung, musisi tidak bisa memberitahu kapan mulai main. Pemimpin musisi sambil memantau kegiatan upacara dengan teliti membuat keputusan untuk memulai main berdasarkan kegiatan upacara dan hanya memberi tanda sekejap kepada musisi sebelum mulai main. Saat dia melihat sudah waktunya untuk mulai main, dia akan mulai dan tidak peduli untuk memberitahukan kepada tim rekaman yang berada dibawah – suasananya tidak memungkinkan. Oleh karena itu, beberapa rekaman tidak bisa menangkap awal pertunjukan musik.

Film dibuat dengan dua alat Bolex 16mm buatan Swiss atas kaki tiga/ tripod. Foto diambil dengan kamera tidak dikenal menggunakan kodachrome, ektachrome dan film kecepatan tinggi untuk kondisi pencahayaan rendah, semua diproduksi Kodak.

Rekaman berasal dari Freiburg yang kami terima (termasuk sebagian besar diantaranya adalah material sub-collection 1-6) dipisah dari rekaman digital pada CD 44.1khz 32bit MPEG-4 Part 14 format (.m4a). CD Tracks ini kemudian diterjemahkan menjadi 44.1khz24bit Windows Audio File Format (.wav), setelah setiap tampilan individual diindentifikasi dan dipisah – menambahkan atau menyisakan ruang satu detik sebelum waktu mulai/akhir yang dimaksud. File rekaman ini kemudian di ratakan untuk menghasilkan nilai track keseluruhan LUFS 023db sebelum waktu satu detik memudar fade-out/ fade-in diterapkan. Akhirnya, keseluruhan koleksi dikodekan menjadi variable bitrate Moving Picture Experts Groups Layer-3 (.mp3) menggunakan Fraunhofer codec.

Banyak rekaman dari sub-collection 2 (1950an-1960an) termasuk referensi pitchpipe. Pada beberapa kasus, hal ini memungkinkan kami untuk melakukan duplikasi file yang diputar pada pitch level dan kecepatan yang lebih akurat. Pada kasus-kasus seperti ini, baik versi rekaman asli yang kami dapatkan maupun versi rekaman baru yang telah “dikoreksi” keduanya dimuat pada entri katalog yang sesuai.

Rekaman yang berasal dari Wayne Vitale (termasuk pada sub-collection 6) juga diperlakukan dengan  proses yang sama seperti yang telah dijelaskan di atas, tapi dikirimkan kepada kami dalam format 44.1khz 16bit Windows Audio File fomat (.wav). Vitale memproduksi rekaman ini menggunakan stereo cassete recorder Sony TCD-M5 dengan pita Maxell UD-XL C90 dan noise reduction Dolby B. Kemungkinan besar menggunakan dua mikrofon Beyer 260(M) ribbon mics atau mikrofon stereo kecil Sony. Digitalisasinya menggunakan Nakamichi Cassette Deck2 dengan Dolby B posisi menyala, sebuah Zoom Handy Audio Interface yang disambungkan pada MacBook Pro (mid 2015) menjalankan OSX 10.11.6 dan ProT&ools 12.8.2.

Sumber langsung dari setiap rekaman ditunjukkan dalam entri katalog yang sesuai.

  1. 1969: Hans Oesch, pendanaan pribadi; melakukan rekaman di Bali dengan Theo Meier.
  2. 1972-1973: Pembiayaan dilakukan oleh Lembaga Pendanaan Swiss untuk Promosi Penelitian Ilmiah (SNF) dengan sponsor dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Universitas Udayana. Dari pihak Swiss, lembaga-lembaga yang terlibat adalah Institut Musikologi (Prof. Dr. Hans Oesch), Institut Etnologi (Prof. Dr. Meinhard Schuster) dan Museum Budaya (Dr. Gerhard Baer). Peserta: Dr. Urs Ramseyer (Antropologi Budaya dan Etnomusikologi), Danker Schaareman (Antropologi Budaya dan Etnomusikologi), Gera van der Weijden (Antropologi Budaya dan Etnomusikologi), Dr. Tilman Seebass (Musicologi), Peter Horner (film), Bernadet), Dr. Tilman Seebass (Musicologi), Peter Horner (film), Bernadet film, fotografi).
  3. 1974: Hans Oesch, pendanaan pribadi; melakukan rekaman di Bali dengan Theo Meier.
  4. 1985-1994: Berbagai proyek penelitian dengan pembiayaan oleh Swiss Fund untuk Promosi Penelitian Ilmiah (SNF) dan sponsor dari Lembaga Ilmu Pegetahuan Indonesia (LIPI) dan Universitas Udayana. Di sisi Swiss, lembaga-lembaga yang terlibat adalah Institut Musikologi dan Institut Ethnologi. Peserta (1985-1986): Danker Schaareman (Antropologi Budaya dan Etnomusikologi), Annette Rein (Antropologi Budaya dan Tarian), Monika Nadolny (Praktik Agama dan Kedokteran Herbal), Barnie Palm (Antropologi Budaya, Rekaman Suara, Fotografi), dan Wayne Vitale (musik).
  5. 2007-present: (Terputus-putus), Penelitian tindak lanjut dalam etnomusikologi oleh Danker Schaareman dan anggota rekaman Insitu, dana swasta
  1. 1976, Tilman Seebass, Panji in Lombok I. Baerenreiter-Musicaphon, BM 30 SL 2564, Kassel (LP record text)
  2. 1976, Tilman Seebass, Panji in Bali I. Baerenreiter-Musicaphon, BM 30 SL 2565, Kassel (LP record text)
  3. 1977, Tilman Seebass, Panji in Lombok II. Baerenreiter-Musicaphon, BM 30 SL 2564, Kassel (LP record text)
  4. 1985, Danker Schaareman, Ritual Music from Bali I: The Annual Cycle in Tatulingga: The Usaba Sumbu, Baerenreiter-Musicaphon, BM 30 SL 2570, Kassel (LP record text)
  5. 1985, Danker Schaareman, Ritual Music from Bali II: Cross-Section through the Music of the Annual Cycle in Tatulingga, Baerenreiter-Musicaphon, BM 30 SL 2571, Kassel (LP record text)
  6. 1987, Danker Schaareman, Ritual Music from Bali III: The Gong Gedé from Sulahan, Baerenreiter-Musicaphon, BM 30 SL 2573, Kassel (LP record text)
  7. 1987, Danker Schaareman, Ritual Music from Bali IV: The Gong Gedé from Pamêcutan, Baerenreiter-Musicaphon, BM 30 SL 2574, Kassel (LP record text)

Materi yang sudah diterbitkan hanya bisa diakses melalui streaming on-line sesuai aturan pembatasan pengunduhan dari TIB.

  1. 1974, Number: V 1617; Signature: E 2162; Title: Bali, Karangasem – Rhythmisches Reisstampfen in Iseh; Author(s): Ramseyer, Urs (Basel); 6.25 min.; Sound: Original sound
  2. 1974, Number: V 1617; Signature: E 2163; Title: Bali, Karangasem – Figurationsrhythmik in der balinesischen Musik; Author(s): Ramseyer, Urs (Basel); 16.5 min.; Sound: Original sound
  3. 1974, Number: V 1617; Signature: E 2164; Title: Bali, Karangasem – »angklung«-Orchester in Iseh; Author(s): Ramseyer, Urs (Basel); 12.5 min.; Original sound
  4. 1974, Number: V 1617; Signature: E 2165; Title: Bali, Gianyar – Unterricht im »légong«-Tanz durch I Gusti Gedé Raka in Saba; Author(s): Ramseyer, Urs (Basel); 17 min.; Sound: Original sound
  5. 1974, Number: V 1617; Signature: E 2166; Title: Bali, Gianyar – »légong«-Tanz in Saba. 1. “Hofdame »condong« und himmlische Nymphen »widiyadari«”; Author(s): Ramseyer, Urs (Basel); 20.5 min.; Sound: Original sound
  6. 1974, Number: V 1617; Signature: E 2167; Title: Bali, Karangasem – »selonding«-Orchester. Ritualmusik in Tenganan Pegeringsingan; Author(s): Ramseyer, Urs (Basel); 30.5 min.; Sound: Original sound
  7. 1974, Number: V 1617; Signature: E 2208; Title: Bali, Karangasem – Schlitztrommel-Orchester in Iseh; Author(s): Ramseyer, Urs (Basel); 9 min.; Sound: Original sound
  8. 1974, Number: V 1617; Signature: E 2209; Title: Bali, Karangasem – Maultrommel-Orchester in Iseh; Author(s): Ramseyer, Urs (Basel); 6.5 min.; Sound: Original sound
  9. 1974, Number: V 1617; Signature: E 2210; Title: Bali, Gianyar – Auswahl eines Mädchens für den »légong«-Tanz in Saba; Author(s): Ramseyer, Urs (Basel); 3.5 min.; Sound: No sound
  10. 1974, Number: V 1617; Signature: E 2211; Title: Bali, Gianyar – »légong«-Tanzprobe in Saba; Author(s): Ramseyer, Urs (Basel); 14 min.; Sound: Original sound
  11. 1974, Number: V 1617; Signature: E 2212; Title: Bali, Gianyar – Maskentanz der »Rangda« in Saba; Author(s): Ramseyer, Urs (Basel); 9 min.; Sound: Original sound
  12. 1974, Number: V 1617; Signature: E 2234; Title: Bali, Karangasem – »wayang lemah«. Kultisches Spiel mit Lederfiguren in Sidemen; Author(s): Ramseyer, Urs (Basel); 45.75 min.; Sound: Original sound
  13. 1975, Number: V 1617; Signature: E 2236; Title: Bali, Gianyar – »légong«-Tanz in Saba. 2. “Himmlische Nymphen »widiyadari«”; “König Lasem”; Author(s): Ramseyer, Urs (Basel); 28 min.; Sound: Original sound
  14. 1975, Number: V 1617; Signature: E 2237; Title: Bali, Karangasem – »selonding«-Orchester. Rituelle Siebentonmusik in Tenganan Pegeringsingan; Author(s): Ramseyer, Urs (Basel); 6.25 min.; Sound: Original sound
  15. 1975, Number: V 1617; Signature: E 2238; Title: Bali, Karangasem – »topeng«-Maskenspiel von Sidemen mit dem »gamelan« aus Ipah; Author(s): Ramseyer, Urs (Basel); 22.5 min.; Sound: Original sound
  16. 1975, Number: V 1617; Signature: E 2239; Title: Bali, Karangasem – »karé«. Zweikampf mit Schilden in Tenganan Pegeringsingan; Author(s): Ramseyer, Urs (Basel); 6.5 min.; Sound: Original sound
  17. 1975, Number: V 1617; Signature: E 2245; Title: Bali, Karangasem – Töpfern eines Wassergefäßes in Jasi; Author(s): Ramseyer, Urs (Basel); 18.5 min.; Sound: No sound
  18. 1976, Number: V 1617; Signature: E 2416; Title: Bali, Karangasem – Doppelikat in Tenganan Pegeringsingan. 1. Schären und Abbinden der Kette; Author(s): Ramseyer, Urs (Basel); Ramseyer-Gygi, Nicole (Basel); 45.25 min.; Sound: Voice only
  19. 1976, Number: V 1617; Signature: E 2417; Title: Bali, Karangasem – Doppelikat in Tenganan Pegeringsingan. 2. Aufwinden und Abbinden des Eintrags; Rotfärben; Auflösen des gemusterten Eintrags; Author(s): Ramseyer, Urs (Basel); Ramseyer-Gygi, Nicole (Basel); 31.5 min.; Sound: Voice only
  20. 1976, Number: V 1617; Signature: E 2418; Title: Bali, Distrikt Karangasem – Doppelikat in Tenganan Pegeringsingan. Ordnen der gemusterten Kette; Author(s): Ramseyer, Urs (Basel); Ramseyer-Gygi, Nicole (Basel); 25.5 min.; Sound: Voice only
  21. 1976, Number: V 1617; Signature: E 2419; Title: Bali, Distrikt Karangasem – Doppelikat in Tenganan Pegeringsingan. Weben auf dem horizontalen Webgerät mit Rückenjoch; Author(s): Ramseyer, Urs (Basel); Ramseyer-Gygi, Nicole (Basel); 31.5 min.; Sound: Voice only
  22. 1980, Number: V 1617; Signature: D 1321; Title: Tänze und Opferhandlungen während des »sumbu«-Festes in Tatulingga (Distrikt Karangasem, Bali); Author(s): Weijden, Gera van der (Basel) & Schaareman, Danker (Basel); Kleindienst-Andrée, Dore (Bearb.) (Göttingen); Duration: 15.75 min.; Sound: Original sound
  23. 1980, Number: V 1617; Signature: E 2628; Title: Bali, Karangasem – »caruk«-Musikensemble von Abiantihing (Selat); Author(s): Seebass, Tilman (Basel) & Schaareman, Danker (Basel); 4.5 min.; Sound: Original sound
  24. 1983, Number: V 1617; Signature: D 1435; Title: Komprimierte Form eines »gambuh« (Tanzdrama) in Batuan (Distrikt Gianyar, Bali); Author(s): Seebass, Tilman (Basel) & Weijden, Gera van der (Basel); Kleindienst-Andrée, Dore (Bearb.) (Göttingen) Duration: 23 min.; Sound: Original sound
  25. 1981, Number: V 1617; Signature: E 2160; Title: Bali, Gianyar – Unterricht im »baris«-Tanz durch I Gusti Gedé Raka in Saba; Author(s): Ramseyer, Urs (Basel); Duration: 15.75 min.; Sound: Original sound
  26. 1981, Number: V 1617; Signature: E 2161; Title:Bali, Gianyar – »baris«-Tanz in Saba mit dem »gamelan« aus Pinda; Author(s): Ramseyer, Urs (Basel); 10.5 min.; Sound: Original sound
  27. 1983, Number: V 1617; Signature: D 1512; Title: Tanz und Trance auf Bali 1937-1945; Author(s): Ramseyer, Urs (Basel); Duration: 41 min.; Sound: Voice only

Adams, J. (2021). Pupuh Gambang: Manuscript, Melody, and Music [Unpublished doctoral dissertation]. University of British Columbia.

Bagiartha, I W., & Tantra, I. N. (1994). Gending-Gending Gambang II. Denpasar: Sekolah Tinggi Seni Denpasar.

Boekian, I. D. P. (1936). Kajoebii: een oud-Balische bergdesa. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, 76, 127-176.

Darmayasa, I D. G. (2010). Gamelan Gambang dalam Upacara Pegingsiran Rau Pingit di Desa Pakraman Pengotan Bangli (Kajian Teo-Estetik). Denpasar: Institut Hindu Dharma Negeri.

de Zoete, B. & Spies, W. (2002 [1938]). Dance and Drama in Bali. Hong Kong: Periplus Editions.

Herbst, E. (2015). Bali 1928 Volume III: Lotring and the Sources of Gamelan Tradition [Album]. New York: Arbiter of Cultural Traditions.

Korn, V.E. (1932). Het Adatrecht van Bali. ’s Gravenhage: G. Naeff.

———. (1933). De dorpsrepubliek Tnganan Pagringsingan op Bali. Santpoort: Mees.

Kunst, J. (1925). De Toonkust van Bali, door J. Kunst en C. J. A. Kunst-van Wely, besproken door J. K.. Djawa: Tijdschrift van het Java-Instituut, 5, 271-272.

———. (1927 [1968]). Hindu Javanese Musical Instruments. Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde Translation Series 12. Dordrecht: Springer.

Kunst, J. & Kunst-van Wely, C. J. A. K . (1925). De Toonkunst van Bali. Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Weltevreden: G. Kolff & Co.

———. (1925). De Toonkunst van Bali II. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, 65(3), 369-508.

McPhee, C. (1966). Music in Bali: A Study in Form and Instrumental Organization in Balinese Orchestral Music. Yale University Press.

Nakamura, K. (1992). Articulating Rituals. The Use of Ritual Music in Selat (Karangasem), In D. Schaareman (Ed.), Balinese Music in Context: A Sixty-fifth Birthday Tribute to Hans Oesch (pp. 151-171).

Poerbatjaraka, R. M. Ng.. 1968. Tjerita Pandji dalam Perbandingan. Djakarta: P.T. Gunung Agung.

Ramseyer, U. (1992). The Voice of Batara Bagus Selonding: Music and Rituals of Tenganan Pagringsingan (translated by Cressida Joyce), In D. Schaareman (Ed.), Balinese Music in Context: A Sixty-fifth Birthday Tribute to Hans Oesch (pp. 115-149).

———. (1974). Distrikt Karangasem – Figurationsrhythmik in der balinesischen Musik. Publikationen zu wissenschaftlichen Filmen, Sektion Ethnologie, Publikationen zu wissenschaftlichen Filmen, Sektion Ethnologie, Film 2163. Göttingen: Institut für den Wissenschaftlichen Film 1974.

———. (1974). Bali, Distrikt Gianyar – Maskentanz der “Rangda” in Saba. Publikationen zu wissenschaftlichen Filmen, Sektion Ethnologie, Film E 2212. Göttingen: Institut für den Wissenschaftlichen Film.

———. (1974). Bali, Distrikt Karangasem – “angklung”-Orchester in Iseh. Publikationen zu wissenschaftlichen Filmen, Sektion Ethnologie, Film E 2164. Göttingen: Institut für den Wissenschaftlichen Film.

———. (1974). Bali, Distrikt Karangasem – Maultrommel-Orchester in Iseh. Publikationen zu wissenschaftlichen Filmen, Sektion Ethnologie, Film E 2209. Göttingen: Institut für den Wissenschaftlichen Film.

———. (1974). Bali, Distrikt Karangasem – Rhythmisches Reisstampfen in Iseh. Publikationen zu wissenschaftlichen Filmen, Sektion Ethnologie, Film E 2162. Göttingen: Institut für den Wissenschaftlichen Film.

———. (1974). Bali, Distrikt Karangasem – Schlitztrommel-Orchester in Iseh. Publikationen zu wissenschaftlichen Filmen, Sektion Ethnologie, Film E 2208. Göttingen: Institut für den Wissenschaftlichen Film.

———. (1974). Bali, Distrikt Gianyar – “légong”-Tanzprobe in Saba. Publikationen zu wissenschaftlichen Filmen, Sektion Ethnologie, Film E 2211. Göttingen: Institut für den Wissenschaftlichen Film.

———. (1974). Distrikt Gianyar – Unterricht im «légong»-Tanz durch I Gusti Gedé Raka in Saba. Publikationen zu wissenschaftlichen Filmen, Sektion Ethnologie, Film E 2165. Göttingen: Institut für den Wissenschaftlichen Film 1974.

———. (1975). Bali, Distrikt Karangasem – “karé”. Zweikampf mit Schilden in Tenganan Pegeringsingan. Publikationen zu wissenschaftlichen Filmen, Sektion Ethnologie, Film E 2239. Göttingen: Institut für den Wissenschaftlichen Film.

———. (1975). Bali, Distrikt Karangasem – “topeng”-Maskenspiel von Sidemen mit dem “gamelan” aus Ipah. Film Publikationen zu wissenschaftlichen Filmen, Sektion Ethnologie, E 2238. Göttingen: Institut für den Wissenschaftlichen Film.

———. 1977. Kunst und Kultur in Bali. Zürich: Atlantis.

———. (1980). Bali, Distrikt Gianyar – “légong”-Tanzprobe in Saba. Publikationen zu wissenschaftlichen Filmen, Sektion Ethnologie, Serie 10, Nr. 28, Film E 2210. Göttingen: Institut für den Wissenschaftlichen Film.

———. (1980). Bali, Distrikt Gianyar – “légong”-Tanz in Saba. I. Hofdame “condong” und himmlische Nymphen “widiyadari”. Publikationen zu wissenschaftlichen Filmen, Sektion Ethnologie, Serie 10, Nr. 30, Film E 2166. Göttingen: Institut für den Wissenschaftlichen Film.

———. (1980). Bali, Distrikt Gianyar — “légong”-Tanz in Saba. II. Himmlische Nymphen “widiyadari”, “König Lasern”. Publikationen zu wissenschaftlichen Filmen, Sektion Ethnologie, Serie 10, Nr. 31, Film E 2236. Göttingen: Institut für den Wissenschaftlichen Film.

———. (1980). Bali, Distrikt Gianyar – Auswahl eines Mädchens für den “légong”-Tanz in Saba. Publikationen zu wissenschaftlichen Filmen, Sektion Ethnologie, Serie 10, Nr. 27, Film E 2210. Göttingen: Institut für den Wissenschaftlichen Film.

———. (1980). Bali, Distrikt Karangasem — “wayang lemah”. Kultisches Spiel mit Lederfiguren in Sidemen. Publikationen zu wissenschaftlichen Filmen, Sektion Ethnologie, Serie 10, Nr. 32, Film E 2234. Göttingen: Institut für den Wissenschaftlichen Film.

———. (1981). Bali, Distrikt Gianyar — “baris”-Tanz in Saba mit dem “gamelan” aus Pinda. Publikationen zu wissenschaftlichen Filmen, Sektion Ethnologie, Serie 11, Nr. 30, Film D 2161. Göttingen: Institut für den Wissenschaftlichen Film

———. (1981). Bali, Distrikt Gianyar – Unterricht im “baris”-Tanz durch I Gusti Gedé Raka in Saba. Publikationen zu wissenschaftlichen Filmen, Sektion Ethnologie, Serie 11, Nr. 29, Film D 2160. Göttingen: Institut für den Wissenschaftlichen Film.

———. (1983). Bali, Distrikt Karangasem – «selonding»-Orchester. Ritualmusik in Tenganan Pegeringsingan. Film E 2167 des IWF, Göttingen 1978. Publikation von U. RAMSEYER, Publ. Wiss. Film., Sekt. Ethnol., Ser. 13, Nr. 6/E 2167 (1983), I5 S.

———. (1983). Bali, Distrikt Karangasem – «selonding»-Orchester. Rituelle Siebentonmusik in Tenganan Pegeringsingan. Film E 2237 des IWF, Göttingen 1978. Publikation von U. RAMSEYER, Publ. Wiss. Film., Sekt. Ethnol., Ser. 13, Nr. 7/E 2237 (1983), 14 S.

———. (2009). The Theatre of the Universe. Ritual and Art in Tenganan Pegegeringsingan. Museum der Kulturen Basel.

Ramseyer, U., & Schlager, E. (1983). Tanz und Trance auf Bali – Filmdokumente aus den Jahren 1937-1945. Bearb.: U. RAMSEYER und D. KLEINDIENST-ANDRÉE (IWF). Film D 1512 des IWF, Göttingen 1983. Publikation von U. RAMSEYER und E. SCHLAGER ♰, Publ. Wiss. Film., Sekt. Ethnol., Ser. 13, Nr. 30/D 1512 (1983), 21 S.

Robson, S. O. (1971). Waᶇbaᶇ Wideya: A Javanese Pañji Romance. The Hague: Martinus Nijhoff.

———. (1972). The Kawi Classics in Bali. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 128(2/3), 308-329.Nive

———. (1979). Notes on the Early Kidung literature. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 135(2/3), 300-322.

Schaareman, Danker. (1977). Ritual und Musik in Asak, einem Ostbalinesischen Dorf [Unpublished master’s thesis]. Universität Basel.

———. (1980). The Gamelan Gambang of Tatulingga, Bali. Ethnomusicology, 24(3), 465-82.

———. (1986). Tatulingga: Tradition and Continuity: An Investigation in Ritual and Social Organization on Bali. Basel: Wepf & Co. AG Verlag.

———. (1990). The Power of Tones: Relationships between Ritual and Music in Tatulingga, Bali. Indonesia Circle, 52, 5-21.

———. (1992). The Shining of the Deity. Selunding Music of Tatulingga (Karangasem) and its Ritual Use, In D. Schaareman (Ed.), Balinese Music in Context: A Sixty-fifth Birthday Tribute to Hans Oesch (pp. 173-194).

———. (2021). A Short Introduction to Selunding Music, Academia. January 1, 2021. https://www.academia.edu/65076902/Schaareman_D_The_Gamelan_Selunding_of_Asak_Karangasem_Bali

Schaareman, D. (Ed.) (1992). Balinese Music in Context: A Sixty-fifth Birthday Tribute to Hans Oesch. Winterthur: Amadeus-Verlag [Forum Ethnomusicologicum, Basler Studien zur Ethnomusikologie, Band 4]

Schlager, E. (1976). Rituelle Siebenton-Musik auf Bali. Bern: Francke Verlag. [Forum Ethnomusicologicum, Series I: Basler Studien zur Ethnomusikologie, 1]

Seebass, Tilman. (1974/75). Eine Forschungsreise nach Bali und Lombok zum Vergleichenden Studium der Dortigen Älteren Musikschichten. Mitteilungen: Der Deutschen Gesellschaft für Musik des Orients, 13, 69-82.

Seebass, T. & D. Schaareman. (1983). Bali, Distrikt Karangasem – «caruk»-Musikensemble von Abiantihing (Selat). Film E 2628 des IWF, Göttingen 1981. Publikation von T. SEEBASS, Publ. Wiss. Film., Sekt. Ethnol., Ser. 13, Nr. 1/E 2628 (1983), 10 S.

———. (1986a). Notes and Paradigms: Vocal and Instrumental Practice in Ritual Music, Contradiction and Agreement’ La Musique et le rite, Sacré et Profane. Actes du XIIIe Congrés de la Sociètè Internationale de Musicologie Strasbourg, 29(3), 207-221.

———. (1986b). Between Oral and Written Tradition: The Function of Notation in Indonesia. In Y. Tokumaru Y. and O. Yamaguti (Eds.), The Oral and The Literate in Music (pp. 414-427). Tokyo: Academia Music.

———. (2015). Catalogue Raisonné of the Balinese Palm-leaf Manuscripts with Music Notation. München: G. Henle Verlag.

Seebass, T., & G. van der Weijden (Directors) (1983). Komprimierte Form eines »gambuh« (Tanzdrama) in Batuan (Distrikt Gianyar, Bali). Bearb.: D. KLEINDIENST-ANDRÉE (IWF). Film D 1435 des IWF, Göttingen 1981. Publikation von T. SEEBASS, Publ. Wiss. Film., Sekt. Ethnol., Ser. 13, Nr. 2/D 1435 (1983), 13 S.

Sinti, I Wayan. (2011). Gambang: Cikal Bakal Karawitan Bali Edisi I. Denpasar: TSP Books.

Spies, W. (1933). Das grosse Fest im Dorfe Trunjan (Insel Bali). Tagebuchblätter. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en-Volkenkunde, 73, 220-256.

Stein Callenfels, P. V. van. (1919). Aan de Directie van het Bataviaasch Genootschap Kunsten en Wetenschappen. Notulen van de Algemeene en Directievergaderingen van het Batavaiaasch Genootshap van Kunsten en Wetenschappen, LVII(4), 191-193.

———. 1919-1920. Mededeeling van den Heer P. V. van Stein Callenfels over de Balische bamboe gambang (Met 1 plaat). Notulen van de Algemeene en Directievergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Deel LVII, Bijlage IX, pp. 191-193. Weltevreden: G. Kolff & Co.

Suarka, I Nyoman. (2011). Kidung Tantri Pisacarana. Denpasar: Pustaka Larasan.

Sudiana, I. N., Yudarta I. G., & Mawam, I. G. (2009). The Analysis the Compare of Gambang Orchestra in Banjar Jeroan Tumbak Bayuh Village Mengwi in Badung District. Denpasar: ISI Denpasar.

Suleiman, S. (1978). The Pendopo Terrace of Panataran. Jakarta: Proyek Pelita Pembinaan Kepurbakalaan dan Peninggalan Nasional.

Tim Survey Guru-Guru KOKAR. (1972). Gamelan Selonding Musika, brosur mengenai ilmu musik dan koreografi. Jakarta: Lembaga Musikologi dan Koreografi.

Toth, A. F. (1975). The Gamelan Luang of Tangkas, Bali. Selected Reports in Ethnomusicology, II(2), 63-79.

Tusan, P. W. (2002). Selonding: Tinjauan Gamelan Bali Kuna Abad X-XIV. Karangasem: Citra Lekha Sanggraha.

Vickers, A. (1986).  [Unpublished doctoral dissertation]. University of Sydney, Sydney.

———. (1992). Kidung Metres and the Interpretation of the Malat. In D. Schaareman (Ed.), Balinese Music in Context: A Sixty-fifth Birthday Tribute to Hans Oesch (pp. 221-243). Winterthur: Amadeus Verlag, Forum Ethnomusicologicum 4.
———. (2005). Journeys of Desire: A Study of the Balinese Text Malat. Leiden: KITLV.

Wallis, R.H. (1979). Poetry as Music in Java and Bali [Unpublished master’s thesis]. University of Michigan, Ann Arbor.

———. (1980). The Voice as a Mode of Cultural Expression in Bali. PhD diss. Ann Arbor: University of Michigan.

Warren, C. (1993). Adat and Dinas: Balinese Communities in the Indonesian State. New York: Oxford University Press.

Weijden, G. van der und D. Schaareman (1980). Tänze und Opferhandlungen während des «sumbu»-Festes in Tatulingga (Distrikt Karangasem, Bali). Film D 1321 des IWF, Göttingen 1979. Publikation von D. SCHAAREMAN, Publ. Wiss. Film., Sekt. Ethnol., Ser. 10, Nr. 21/D 1321 (1980), 14 S.

Zoetmulder, P.J. (1974). Kalangwan: A Survey of Old Javanese Literature, Koninklijk Instituut Voor Taal-, Land- en Volkenkunde Translation Series 16. The Hague. Martinus Nijhoff.

Motivasi

Sudah sejak lama, saya mengkhawatirkan tentang kondisi rekaman ini, banyak di antaranya disimpan pada pita-pita rekaman yang rapuh dan seiring berlalunya waktu disetiap tahunnya semakin bertambah buruk. Kekhawatiran ini tumbuh lebih kuat ketika saya mulai memperhatikan musik yang didokumentasikan pada pita-pita rekaman itu berkurang pemakaiannya di banyak komunitas di mana rekaman tersebut dibuat: instrumen tidak lagi dimainkan atau rusak, gending telah dilupakan, manuskrip yang berisi notasi telah hilang, dan proses peralihan pengetahuan terkait tatacara penerapan atau penggunaannya dari satu generasi ke generasi berikutnya menjadi semakin terganggu dengan pergeseran prioritas dan realitas kehidupan di Bali abad ke-21. Namun, sekitar sepuluh tahun yang lalu, saya melihat adanya kebangkitan minat di kalangan pemuda Bali pada desa-desa di mana saya pernah melakukan kerja lapangan pada tahun 1970-an, pada titik inilah yang mana hal itu menjadi lebih jelas bahwa sudah waktunya untuk melakukan apa pun yang diperlukan untuk memastikan rekaman pada pita-pita tersebut tersedia untuk mereka. Musik nada tujuh tetap penting untuk kehidupan ritual di komunitas-komunitas ini, dan para pemuda Bali ini mengomunikasikan bahwa akses ke rekaman dapat menguntungkan usaha mereka untuk memastikan ritual tetap terjaga kegunaannya di masa depan.

Pada tahun 2018, saya menghubungi teman dan kolega saya, Jonathan Adams, yang baru-baru ini melakukan penelitian tentang gamelan gambang, kami membahas tentang pembuatan infrastruktur digital yang diperlukan untuk mengelola materi ini secara online. Dia mengenali nilai penting upaya yang saya berikan pada masing-masing komunitas – dia baru saja menghabiskan beberapa tahun berinteraksi dengan musisi gambang keseluruhan wilayah pulau – dan menawarkan untuk membantu. Kemudian, kami memutuskan bahwa Insitu Recordings, sebuah organisasi yang didirikan oleh Jonathan dan I Putu Gede Sukaryana (Balot) pada tahun 2016 dan sekarang diakui sebagai organisasi nirlaba di Amerika Serikat, merekalah yang akan mengembangkan infrastruktur digital ini dan menjadi tuan rumah materi pada situs web (www.insiturecordings.org). Kami kemudian membentuk tim kecil yang terdiri dari anggota lain dari proyek Rekaman Insitu, termasuk Zachary Hejny, I Putu Gede Sukaryana, dan Pande Widiana, dan mulai mempersiapkan materi-materi yang ada pada kami saat itu.

Situs web ini merupakan puncak dari kemitraan itu dan menjadi tempat dimana kolaborasi kami berlanjut. Lebih dari sekedar wadah penyimpanan statis materi digital, ini adalah tempat dimana kami bisa saling berbagi hasil atas keterlibatan berkelanjutan kami dengan berbagai orang, komunitas, lembaga, dan materi yang terpaut melalui karya para peneliti dari Universitas Basel.

Terima kasih yang tak terhingga pada tim di Insitu Recordings atas bantuannya sehingga saya bisa melakukan langkah-langkah awal guna mewujudkan cita-cita saya.

Danker Schaareman, Jakarta, Indonesia, 2022, foto oleh Nadiya Riskiyani
Danker Schaareman, Sudaji-Bebetin, 1973, foto oleh Bernadette Waldis (copyright Museum Budaya, Basel, Swiss, nomor arsip: 29740)

Tradisi Basel

Benih dari “tradisi ritual nada tujuh” yang sekarang dikaitkan dengan Basel dimulai pada tahun 1941, ketika Theo Meier (1908-1982), seorang pelukis Swiss yang tinggal di Bali, membangkitkan minat seorang ahli kimia dari Swiss bernama Ernst Schlager (1900-1964) pada musik ini ketika ia berkunjung. Pada tahun-tahun selanjutnya, benih-benih itu dengan cepat berubah menjadi studi formal yang dibudidayakan oleh koneksi dan kepekaan artistik Meier. Hal tersebut juga dimungkinkan karena selama masa pendudukan Jepang saat Perang Dunia II mereka berdua menjadi tahanan di Bali, yang dimulai kurang dari setahun setelah kedatangan Schlager, pada tahun 1942. Meskipun mereka tidak diizinkan meninggalkan pulau itu sampai 1946, mereka dapat bebas bergerak di Bali, dan pada tahun-tahun inilah mereka berkenalan dengan musik nada tujuh di desa-desa yang tak terhitung jumlahnya di seluruh pulau. Mereka juga mulai mengumpulkan materi yang kemudian diandalkan Schlager untuk memulai monograf mengenai musik ritual nada tujuh. Setelah Schlager meninggal pada tahun 1964, naskah yang belum selesai itu menjadi perhatian Hans Oesch, Alfred Bühler dan lainnya di Universitas Basel, yang mengupayakan melakukan penelitian tambahan dengan bantuan Meier untuk merevisi dan menerbitkan teks almarhum Schlager.

Peranan Meier dalam apa yang sering dianggap sebagai karya Schlager tidak dapat diremehkan. Dia meninggalkan Swiss ke Pasifik pada 1930-an dan sudah menetap di Sanur beristrikan wanita Bali pada saat Schlager tiba di Bali. Dia juga berkenalan dengan para seniman/peneliti Barat yang tinggal di sana, termasuk mereka yang tertarik pada seni pertunjukan, di antara mereka pelukis Jerman yang mapan dan spesialis dalam seni lukis dramatis Bali, Walter Spies. Setelah kedatangannya, Schlager bergabung dengan Meier di rumah kosong bekas Spies di Iseh, Karangasem, tempat Meier pindah setelah pecahnya Perang Dunia II. Sebagai warga negara Jerman, Spies ditangkap oleh otoritas Belanda, dan tak lama kemudian, pada tahun 1942, ia tenggelam saat dideportasi ke India ketika kapal yang mengangkutnya dihancurkan oleh bom Jepang. Hal ini menyebabkan rumah itu kosong tanpa batas waktu, dan kemungkinan tidak lama setelah itu Meier memperkenalkan Schlager pada musik Bali pertama kalinya. Ketika perjalanan melakukan rekaman-rekaman dimulai, rumah kosong itu juga merupakan basecamp. Daerah sekitarnya merupakan desa-desa dengan ritual gamelan nada tujuh yang sudah berlangsung lama dan fakta bahwa rumah itu ada di tanah yang dimiliki oleh keluarga Cokorda Gede Dangin, yang juga kenalan Meier, membuatnya ideal sebagai basecamp. Status Cokorda Gede Dangin di area Iseh-Sidemen-Selat membuat perekaman lebih mudah. Beberapa dekade kemudian statusnya juga akan membantu Urs Ramseyer dan saya (Danker Schaareman) ketika kami melakukan upaya untuk terhubung dengan para pendeta dan musisi di daerah tersebut.

Setelah Schlager kembali ke Swiss pada tahun 1946, Meier terus merekam atas namanya, meskipun saat itu dia bergerak bolak-balik antara Bali dan Thailand, setelah menetap di Chang Mai beberapa waktu setelah perang. Dalam rekaman dapat didengar suara Meier secara langsung memberi pengarahan pada Schlager. Ada dimana-mana, suara pipa pitch Meier disetiap awal perekaman, yang memastikan rekaman akan diputar kembali pada kecepatan yang benar di Eropa, karena kecepatan motor dapat disesuaikan tergantung pada jenis tape yang digunakan dan keinginan dari sang perekam. Untuk mengatasi iklim tropis Bali dan fluktuasi listrik, yang mempengaruhi stabilitas motor, metode semacam itu diperlukan untuk memastikan reproduksi suara yang tepat nantinya.
Seperti Meier, ahli bahasa dan ahli dalam sejarah Bali, Roelof Goris (1898-1965) juga mendukung upaya Schlager dari jauh. Meskipun Schlager dan Goris berada di Indonesia pada saat yang sama, keduanya tidak pernah bertemu, karena Goris ditahan sebagai warga sipil di Jawa. Pada tahun 1947, setelah setahun di Belanda, dan Schlager sudah kembali ke Swiss, Goris menetap di Singaraja, Bali, di mana ia tinggal sampai kematiannya pada tahun 1965, dan dari sini ia akan menjawab pertanyaan-pertanyaan Schlager. Dia juga menyumbangkan banyak komentar tentang konsep awal dari naskah Schlager tentang musik ritual nada tujuh. Pada tahun 1973, saya membuat salinan korespondensi di antara mereka dalam koleksi Gedong Kirtya yang terjadi antara tahun 1955 dan 1956.

Setelah Schlager meninggal pada tahun 1964, banyak orang di Swiss tertarik pada karyanya, dan Meier terus memegang peranan, terutama mengenai cara penelitian tambahan dirancang dan dilaksanakan. Alfred Bühler (1900-1981), mengenal Schlager dan Meier dengan baik, paling berperan dalam membuat bola bergulir. Sebagai Profesor Etnologi pertama di Universitas Basel, dan kemudian sebagai Direktur Museum Budaya, ia cukup terkenal. Dia bangga dengan fokus museum pada Oceania dan Indonesia dan día juga seorang pendongeng yang menginspirasi serta membagikan berbagai petunjuk kepada kita yang bercita-cita menjadi cendekiawan/peneliti. Saya seringkali bertemu dengannya di museum serta saat kumpul-kumpul setelah kerja di restoran lokal dengan staf museum, mahasiswa, dan cendikiawan/ peneliti lainnya (mis., Prof. Schuster). Salah satu cendikiawan yang paling terinspirasi oleh kecintaan Bühler pada karya Schlager adalah Hans Oesch (1926-1992), seorang etnomusikolog yang menjadikan ini misi pribadinya untuk diselesaikan. Oesch segera menemukan bahwa untuk mengedit naskah Schlager akan membutuhkan penelitian lebih lanjut, dan Bühler mendukungnya. Pada tahun 1969 ia melakukan perjalanan singkat ke Bali dan membuat rekaman tambahan dengan bantuan Meier. Namun, hal ini terbukti tidak mencukupi, terutama mengenai nyanyian kidung dengan Gambang.

Empat tahun kemudian, pada tahun 1972, Oesch dan Bühler mengorganisir usaha yang lebih ambisius yang tidak melibatkan partisipasi mereka di Bali. Ini adalah proyek kolaboratif yang menyatukan beberapa lembaga penelitian, pembiayaan dari Lembaga Pendanaan Nasional Swiss untuk Promosi Penelitian Ilmiah, dan dukungan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bühler pandai melobi Lembaga Pendanaan ini untuk mendukung proyek-proyek yang diajukannya. Perjalanan berlangsung dua tahun dan termasuk dua minggu di pulau tetangga Lombok. Terlibat adalah Institut Musikologi di Universitas Basel (Kepala: Prof. Dr. Hans Oesch); Museum Etnografi Basel (Direktur: Dr. Gerhard Bear); dan Seminar Etnologi (kepala: Prof. Dr. Meinhard Schuster). Empat orang yang terkait dengan lembaga-lembaga ini dikirim ke Indonesia: Antropolog/Etnomusikolog Urs Ramseyer (Museum Etnografi Basel); ahli musik Tilman Seebass (Institut Musikolog Basel); mantan istri saya Gera van der Weijden; dan saya (Danker Schaareman). Gera dan saya adalah siswa dalam antropologi dan etnomusikologi. Selain tim inti ini, kru film yang terdiri dari Peter Horner dan Bernadette Waldis juga hadir. Tujuan utamanya adalah untuk mengumpulkan materi tentang musik nada tujuh, termasuk konteks budayanya, melalui rekaman suara, film, dan penelitian etnografi. Selain itu, kami juga ada di sana untuk memperbaiki kesalahan dalam naskah Schlager dan mengumpulkan materi tambahan. Setiap peneliti juga memiliki bidang keahlian dan minatnya sendiri-sendiri di Bali: Urs mempelajari adat desa Tenganan dan merekam dan membuat film tentang musik dan tarian; Tilman merekam dan membuat film tentang musik; saya mempelajari adat desa Asak dan membantu Tilman dengan rekaman dan pembuatan film; Gera mempelajari ritual tarian dan persembahan sesajen.

Ketika saya sampai di Karangasem pada Mei 1972, saya belum mempunyai rencana penelitian yang pasti. Saya hanya tahu bahwa saya akan mengumpulkan materi untuk monograf desa (tesis saya) dan membantu ahli musik dengan rekaman. Selama minggu-minggu pertama, Theo Meier, yang telah datang dari Thailand, memfasilitasi perkenalan dan membantu membuat pengaturan awal untuk sesi rekaman di Bungaya, Timbrah, Asak dan Bugbug. Yang pada saat itu merupakan “musim padat” untuk aktivitas selunding, dan kami berharap bisa merekam beberapa diantaranya.

Selama beberapa hari merekam di Asak saat upacara Usaba Sumbu tahunan, saya dan putra pemimpin sekaha pakayuhan (asosiasi musik), yang sedikit lebih muda, mulai mengobrol. Kami membicarakan hal ini dan itu, dan kemudian dia mengundang saya ke rumahnya di bagian barat desa tempat dimana sebagian besar anggota dadia Pasek tinggal. Karena kontak yang ramah ini, saya memutuskan “ini adalah desa” di mana saya ingin menghabiskan waktu saya di Bali, jadi saya mulai mencari tempat tinggal. Karena adanya hubungan Meier dengan kepala desa, saya pindah ke rumahnya (di timur) – tetapi hanya selama sebulan.
Kepala desa administratif (Kliang Desa), I Gede Rai (Dadia Pulasari), sudah cukup tua dan tidak bisa bicara banyak, jadi putranya, I Nengah Netra, seusia saya dan bertindak sebagai de facto Kliang Desa, menegaskan bahwa ia akan “memandu” saya. Hal ini berarti saya akan tinggal di rumahnya dan dia akan mengundang orang ke rumahnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Sebagai peneliti independen dengan kesetiaan kepada penduduk desa yang kemudian akan saya wakili, ini tampaknya tidak etis. Sebagai Kliang Desa, kesetiaan Netra kepada pemerintah daerah, yang bertentangan dengan Kliang Adat. Saya mengumumkan bahwa saya akan pindah ke barat desa, ke rumah I Gede Sudiana (anak laki-laki pertama yang saya temui). Kepala desa tidak setuju dengan keputusan saya dan melarang saya untuk melakukan penelitian tanpa izin dan pengawasannya. Untuk menyelesaikan situasi yang tidak bersahabat ini, saya meminta bantuan Bupati Karangasem, Anak Agung Gede Karang dari Puri Kertasura. Dia memanggil kepala desa dan menyuruhnya bersikap baik. Masalah selesai. Baru kemudian saya merasakan hubungan yang agak tidak nyaman antara kedua dadia Pasek dan Pulasari. Hal yang rumit.

Saya menetap di rumah I Gede Sudiana. Ayahnya, Jro Nengah Gede, ternyata pemimpin sekaha pakayuhan dan menjadi mentor dan teman yang sangat baik. Dia meminjamkan instrumen gambang dan gangsa dari Pura Bale Agung dan dengan demikian saya belajar bermain dengan beberapa anggota sekaha, bersama Jro Gede Putu (dadia Pulasari dan salah satu pemain gambang terbaik yang pernah ada), dan Jro Nengah Wenten Subadri (juga dadia Pulasari). Mereka semua mendukung penelitian saya dan memberikan informasi tentang desa Adat, tetapi yang lebih penting, mereka adalah teman saya, dan tetap menjadi teman saya sampai sekarang. Pada tahun-tahun terjalinnya hubungan, banyak yang meninggal dan banyak yang dilahirkan. Saya bangga menjadi bagian dari itu.

Setelah penelitian 1972-1973, Oesch memulai seri buku berjudul Forum Ethnomusicologicum Series I: Basler Studien Zur Ethnomusikologie (semua diterbitkan oleh penerbit Amadeus, Bern) serta serangkaian catatan komersial yang berfokus pada musik dari Asia Tenggara, Asia Selatan , dan Oceania (semuanya diterbitkan oleh Baerenreiter-Musicaphon). Beberapa darinya juga melingkupi beberapa materi terbatas dari perjalanan penelitian kami, tetapi secara bersamaan mereka mewakili hanya sebagian kecil dari apa yang dikumpulkan. Pada tahun 1974, Oesch mengunjungi Bali lagi dan membuat rekaman tambahan dengan bantuan Meier selama beberapa minggu. Perjalanan ini dibiayai secara pribadi dan tidak terhubung secara resmi dengan kegiatan penelitian 1972-1973 yang telah dia bantu penyelenggaraannya dua tahun sebelumnya, tetapi rekaman-rekaman itu ditambahkan masuk ke arsip yang sama di Institut Musikologi di Universitas Basel. Upaya penelitian tambahan ini terbukti berhasil, demi mempertahankan warisan Schlager, dan pada tahun 1976, naskah yang direvisi diterbitkan oleh Francke Verlag, Bern dengan judul Ernst Schlager: Rituelle Siebenton-Musik auf Bali, Aufgrund des Nachlass herausgegeben von Hans Oesch (disunting oleh Hans Oesch), Forum Ethnomusicologicum Series I: Basler Studien zur Ethnomusikologie (Volume I, Part one and two) dengan kata pengantar dari Alfred Bühler.

Sejak 1974, saya sering kembali ke Indonesia–akhirnya saya menetap di sini. Saya tetap melanjutkan pembuatan rekaman selunding, gong gede, gambang, caruk dan gong luang/ saron selama beberapa waktu, dan karena saya masih terhubung ke lembaga di Basel ketika rekaman tambahan ini dibuat, mereka ditambahkan ke arsip di Institut Musikologi di Universitas Basel. Ini termasuk rekaman yang saya buat antara tahun 1985 dan 1991 saat berpartisipasi dalam berbagai proyek penelitian yang dibiayai oleh Lembaga Pendanaan Swiss untuk Promosi Penelitian Ilmiah (SNF) dan disponsori oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Universitas Udayana. Salah satu proyek pada 1985-1986 melibatkan beberapa peneliti yang bekerja pada topik yang saling terkait, itulah sebabnya nama mereka kadang-kadang muncul pada materi dalam koleksi ini. Saya fokus pada antropologi budaya dan etnomusikologi, Wayne Vitale berfokus pada semar pegulingan nada tujuh dan musik sejenis lainnya, Annette Rein berfokus pada antropologi budaya dan tarian, Monika Nadolny mengeksplorasi praktik keagamaan dan kedokteran herbal, dan Barnie Palm (suami Nadolny) memiliki minat dalam bidang antropologi budaya. Palm juga membantu dengan rekaman suara dan fotografi. Sepanjang periode itu, Dieter Mack dan Andrew Toth juga kadang-kadang menemani saya saat membuat rekaman, tetapi mereka tidak pernah terlibat langsung dalam kegiatan penelitian yang didanai Swiss.

Ketika saya meninggalkan Swiss pada tahun 1991, untuk proyek penelitian terakhir, dan kemudian menetap di Indonesia secara permanen, pengerjaan salinan dan katalog rekaman tertua yang dibuat oleh Schlager dan Meier masih belum selesai. Sejumlah kecil rekaman 1972-1973 akhirnya diterbitkan sebagai bagian dari seri Oesch yang disebutkan di atas (lihat daftar rekaman suara dan film yang diterbitkan di bawah ini untuk detailnya), dan pada tahun 1992, saya memiliki kesempatan untuk mengedit dan menerbitkan Balinese Music in Context: A Sixty-fifth Birthday Tribute to Hans Oesch (Musik Bali dalam Konteks: Penghargaan Ulang Tahun Keenam Puluh Lima untuk Hans Oesch) (juga bagian dari seri Forum Ethnomusicologicum dan diterbitkan oleh Amadeus-Verlag, Bern).

Setelah meninggalnya Oesch, minat pada etnomusikologi, atau lebih tepatnya musik non-Barat, memudar di Institut Musikologi di Basel. Sekarang hampir tidak ada. Akibatnya, dana untuk mempertahankan koleksi berharga yang dibuat oleh Schlager dan Meier serta mereka yang mengikuti jejak mereka tidak pernah tersedia. Sejauh yang saya tahu, rekaman lengkap dari tahun 1940-an dan 1950-an belum disalin ke format yang lebih stabil, termasuk yang tertua di antaranya, yang dibuat menggunakan wax roll. Ini adalah pekerjaan yang sangat menantang, terutama sehubungan dengan rekaman-rekaman pita tertua, yang hanya dapat dimainkan sekali saja. Setelah diputar, lapisan coklat yang berisi audio akan mengelupas dari pita plastik transparan, tidak pernah bisa didengar lagi. Penggunaan fungsi maju cepat dan mundur juga tidak mungkin. Setelah diputar ulang dalam bentuk apa pun, yang tersisa hanyalah tumpukan debu. Dari tahun 1972 dan seterusnya rekaman dibuat dengan perekam nagra Kudelsky IV-S dan IV-M menggunakan tape Scotch 207 dan Agfa 525 yang berputar di 38 ems dan 19,5 ems. Rekaman-rekaman pita ini disalin dan diarsipkan dengan sepatutnya.

Tilman Seebass telah membuat salinan bahan yang kami rekam antara tahun 1972 dan 1973 untuk kepentingan pribadi dan membuat katalognya sesuai dengan protokol yang kami buat. Banyak dari rekaman-rekaman ini kami buat bersama-sama, tetapi kadang-kadang juga bekerja sendiri. Sangat beruntung bahwa sejumlah kecil rekaman ini, serta beberapa yang dibuat oleh Schlager dan Meier, baru-baru ini didigitalkan berkat upaya Profesor Dieter Mack (komposer/spesialis di gong kebyar) dan Profesor Joseph Willimann (Musicolog di Institut Musikologi di Freiburg i.Br., Jerman dan Basel, Swiss). File-file ini ditransfer kepada saya di Indonesia, bagaimanapun karena tidak adanya “protokol perekaman” lengkap dari Seebass, saya harus membuat inventaris dari memori dan catatan saya sendiri. Ada banyak catatan (tulisan tangan) untuk rekaman individual, tetapi ini tidak cukup lengkap. Karena itulah, maka beberapa informasi dalam katalog saat ini mungkin tidak lengkap.

Biodata

Ernst Schlager (1900-1964) adalah ahli kimia dan ahli musik Swiss. Dia adalah Wakil Direktur dan Kepala Divisi Dokumentasi Departemen Farmasi Sandoz AG, yang memfasilitasi perjalanan luas di seluruh Asia Tenggara. Dia juga anggota dewan Museum Etnografi (sekarang Museum Budaya) di Basel, dan dalam posisi ini mensponsori banyak acara budaya. Pada tahun 1937, saat bepergian di Asia Tenggara untuk Sandoz AG, ia mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Dia akan kembali untuk tinggal lebih lama pada tahun 1941/42 karena pendudukan Jepang di Indonesia selama Perang Dunia II. Dia ditahan oleh Jepang bersama dengan teman pelukis yang disegani Theo Meier, sampai 1946. Selama menetap sekitar empat tahun, dia rajin melakukan penelitian tentang musik ritual nada tujuh yang direkam dan difilmkan. Dengan demikian, ia dikenal sebagai “bapak” dari penelitian selanjutnya tentang topik ini. Setelah kembali ke Basel di akhir perang, pada tahun 1946, ia menyiapkan sebuah pameran di Museum Etnografi (1955-56) dan mulai menulis sebuah naskah tentang musik ritual nada tujuh, sementara Theo Meier melanjutkan perekaman di Bali atas namanya. Schlager mengunjungi Bali untuk terakhir kalinya pada tahun 1953, dan pada saat kematiannya pada tahun 1964, naskah telah berkembang menjadi karangan karya ilmiah penting, meskipun tidak lengkap. Menyadari nilainya yang luar biasa, Hans Oesch, orang yang Schlager perlihatkan sebelum kematiannya, mengorganisir upaya untuk menyelesaikan dan menerbitkannya.

Theo Meier (1908-1982) adalah seorang pelukis Swiss, yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Bali. Sebelum menetap di sana pada tahun 1936, ia pada usianya 24 tahun, terinspirasi oleh karya Gauguin, melakukan perjalanan ke Tahiti untuk menemukan budaya Tahitian yang “asli”. Meier kecewa, karena telah terjadi perubahan secara radikal. Di Bali, dia menemukan apa yang dia cari dan itu menginspirasi karya seninya. Setibanya di Bali, awalnya dia menetap di Sanur, dan pada tahun 1938 menikah dengan wanita Bali, yang bertahan sampai 1941, Selama masa-masa ini día berkenalan dengan politikus sekaligus seniman dari barat, yaitu seorang pelukis asal Jerman bernama Walter Spies yang bertempat tinggal di Ubud dan di Iseh, Karangasem. Setelah invasi Jepang, Theo pindah ke rumah Walter Spies di Iseh dan menjadikannya miliknya. Pada masa itu pula, Theo dikunjungi oleh temannya Ernst Schlager. Sebagai warga negara yang netral, kedua pria itu diizinkan melakukan perjalanan dengan bebas di Bali, tetapi tidak diizinkan meninggalkan pulau itu. Bersama-sama mereka mempelajari musik Bali, tarian, nyanyian kidung, dan kehidupan upacara. Theo kembali ke Swiss pada tahun 1955, tetapi hanya selama setahun. Dia kemudian pergi ke Thailand dan menetap di Chieng Mai. Dari waktu ke waktu, ia melakukan perjalanan ke Bali untuk membuat rekaman musik ritual nada tujuh atas nama Schlager, yang mulai menulis buku tentang musik ritual Bali. Juga, ketika proyek penelitian Basel 1972-1974 dimulai, Theo kembali ke Bali untuk memperkenalkan tim kepada orang-orang di desa-desa dengan musik ritual Gambang dan selunding.

Alfred Bühler (1900-1981, Swiss) memperoleh gelar PhD dalam etnografi dari Universitas Basel pada tahun 1928. Dia menghabiskan bertahun-tahun masa karirnya di Oceania, Indonesia, dan India. Keahlian utamanya adalah dalam kesenian Oceanic dan tekstil India. Dari tahun 1938 hingga 1964 ia adalah konservator dan direktur Museum Budaya (seperti sebutan yang sekarang) di Basel dan pada tahun 1959 ia ditunjuk sebagai Profesor Etnologi Pertama di Universitas Basel. Ketika pada tahun 1970, Hans Oesch dan Urs Ramseyer mulai merencanakan upaya penelitian 1972-1973 di Bali, mereka mengandalkan saran dan rekomendasi dari Alfred Bühler. Saya juga ingat ketika saya masih menjadi mahasiswa muda di Basel, staf dari museum dan universitas, serta mahasiswa, akan berkumpul di sebuah restoran setiap Jumat malam, dan Bühler, ahli etnologi senior, akan menceritakan kisah dan anekdot dari kerja lapangannya dan memberi kami saran untuk proyek kami yang akan datang di Bali.

Hans Oesch (1926-1992, Swiss) adalah seorang ahli musik dengan telinga untuk musik non-Barat. Pada tahun 1967 ia diangkat sebagai Profesor Musikologi di Universitas Basel. Setelah beberapa studi tur di Thailand dan Indonesia, dan karena persahabatannya dengan Theo Meier, ia, bersama dengan Alfred Bühler, adalah salah satu inisiator utama proyek penelitian 1972-1973 di Bali. Fokus dari proyek itu adalah “Musik Ritual Nada Tujuh Bali” dan menghasilkan banyak rekaman banyak gamelan, termasuk gambang, selunding, gong luang, caruk dan lainnya.
Meinhard Schuster (1930-2021) adalah seorang etnolog Jerman-Swiss yang belajar di bawah Adolf E. Jensen di Frankfurt, seorang etnolog Jerman terkenal di paruh pertama abad ke-20. Di awal karirnya, Meinhard melakukan kerja lapangan di Amerika Selatan dan mengajar di University of Frankfurt, Jerman. Pada tahun 1965, ia pindah ke Basel, Swiss di mana ia dipekerjakan di Museum Budaya, melakukan beberapa perjalanan penelitian ke Papua Niugini dan pada tahun 1970 menggantikan Alfred Bühler sebagai Profesor Etnologi di Universitas Basel. Sejak awal studi saya di Swiss pada tahun 1970, dan sampai saya meninggalkan Swiss pada tahun 1991, Meinhard mendesak saya untuk fokus pada Indonesia, mengawasi studi M.A. dan PhD saya. Sehingga saya mengenalnya dengan cukup baik sebagai guru yang hangat dan mendukung.

Meinhard Schuster (1930-2021) adalah seorang etnolog Jerman-Swiss yang belajar di bawah Adolf E. Jensen di Frankfurt, seorang etnolog Jerman terkenal di paruh pertama abad ke-20. Di awal karirnya, Meinhard melakukan kerja lapangan di Amerika Selatan dan mengajar di University of Frankfurt, Jerman. Pada tahun 1965, ia pindah ke Basel, Swiss di mana ia dipekerjakan di Museum Budaya, melakukan beberapa perjalanan penelitian ke Papua Niugini dan pada tahun 1970 menggantikan Alfred Bühler sebagai Profesor Etnologi di Universitas Basel. Sejak awal studi saya di Swiss pada tahun 1970, dan sampai saya meninggalkan Swiss pada tahun 1991, Meinhard mendesak saya untuk fokus pada Indonesia, mengawasi studi M.A. dan PhD saya. Sehingga saya mengenalnya dengan cukup baik sebagai guru yang hangat dan mendukung.

Urs Ramseyer (1938-2018) adalah seorang etnolog dan ahli etnomusikologi Swiss. Setelah menyelesaikan studinya dalam etnologi di bawah Profesor Bühler dan Musikologi di bawah Profesor Jacques Handschin, ia menjadi kurator di Museum Budaya, Basel. Dia melakukan perjalanan lapangan pertamanya pada tahun 1972 sebagai pemimpin tim upaya penelitian 1972-1973 di Bali. Dia menerbitkan banyak buku dan artikel, khususnya tentang desa Tenganan dan kesenian Bali. Dia juga seorang pianis jazz terkenal dengan grupnya sendiri, melakukan banyak konser. Sampai kematiannya pada tahun 2018, ia adalah pendukung kuat usaha saya untuk mendigitalkan arsip di Institut Musikologi di Basel dan membuatnya tersedia secara online.

*Danker Schaareman adalah satu-satunya orang yang masih hidup yang bisa mengerjakan dokumentasi secara detail terkait rekaman-rekaman di koleksi ini dan sebagai anggota tim peneliti 1972-1973 dan setelah itu sebagai peneliti independen yang mempunyai hak guna atas rekaman-rekaman tersebut.

*Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Dina Oriza.

*Gambar yang diutamakan: Jro I Nengah Gede, Menanga, Jro I Nengah Wenten Subadri, Jro I Wayan Gedah, Jro I Wayan Gedab, Jro I Nyoman Mirah dan I Nengah Kiris main gambang di Pura Segaha saat Palawangan Taruna pada Tumpek Kuningan. Foto oleh Danker Schaareman, 1972.