Asak, selunding, Kinanti [k2,kale] (1972) [Pabelan Ida Ratu Jawa] 024-08-83

Sub-Collection: 4. 1972-1973 (Ramseyer, Schaareman, Seebass)
Format: Audio
Length: 00:04:24
Year: 1972
Occasion: Usaba Sumbu
Location: Asak
Recordist: Danker Schaareman, Tilman Seebass
This is a recording of the pabelan (“call melody”) for Ida Ratu Jawa (a deity of the Pura Puseh), which is the taksu (kapingkalih) of pupuh Kinanti. All pabelan played on selunding use oncangan nguwad throughout, except in the cases of pupuh Lilit and Kakelentingan, which use a type of oncangan resembling ngucek. This recording includes the kale, which is usually performed after a pabelan.
During the Usaba Sumbu a ritual called nyolahin batara (dancing of the gods) occurs. The nyolahin batara (also called miaban) occurs three times. The first time, the six gods of the Pura Muter are danced (all accompanied by gambang). The second time, all gods in the Pura Bale Agung, the Pura Muter, the Pura Puseh, and the Pura Dalem are danced (all accompanied by selunding). The third time, all gods are danced again just before the end of the Usaba Sumbu (also accompanied by selunding). Each god has its own melody, called pabelan. The lontar mentions explicitly that god X descends and has pabelan Y.
Pupuh Kinanti is also used to accompany a dance of the daha called Abuang Sumbu.

Notation: Kinanti (saih dung)

Kawitan

3 5 7 6 5 3 2 7 6 5 7 2 3 3 6 5 3 2 7 6 2 7 5 3 5 6 7 7 3 5 2 7 6 5 3 2 7 3 2 7 6 5 6 2 7 6 5

Kapingkalih

3 5 7 2 6 5 2 3 2 7 6 2 3 5 7 6 2 7 6 5 7 5 3 6 5 2 2 5 7 2 5 3 5 7 2 6 5 3 2 7 2 3 5 7 3 2 7 6 5 3 2 5 7 2 3 5 6 7 5 3 2 7 6 5 6 7 5 3 3 2 7 6

Kapingtiga

3 5 6 7 3 2 7 6 2 7 5 6 2 3 6 5 3 3 5 3 2 7 3 5 6 2 3 5 7 6

Kapingpat

3 5 6 7 5 6 3 2 7 6 5 7 2 3 5 6 2 7 5 6 2 3 6 5 3 3 5 3 2 7 3 5 6 2 3 5 7 6

File Source:

Freiburg
Band 83
CD 24
Track 8

A note about seven-tone music manuscripts by Danker Schaareman

While doing fieldwork in Asak, I came across manuscripts (lontar) containing notated melodies for gambang and selunding. I was aware that Ernst Schlager, with assistance from Theo Meier, had collected (in fact, borrowed) numerous manuscripts and painstakingly transcribed them, but I hadn’t had the opportunity to view them yet. The posthumous publication of Schlager’s monograph by Hans Oesch in 1974, which contains this notation, reveals the enormous amount of time and patience that must have gone into that work. There are approximately one hundred pages of notated puh/gending collected in villages across most of Bali. This includes puh/gending that originated in Tabanan, Badung and Gianyar regencies of the West and South, and Buleleng, Klungkung and Karangasem, to the North and East. Adding to complexity involved in documenting these melodies, is the fact that the monograph employs letters to reference tones: i for ding, O for Dong Gede, A for Dang Gede, e for deng, u for dung, a for dang cenik, and o for dong cenik. It is unclear who made these transliterations. It may have been Ernst Schlager, Theo Meier, a Balinese scribe, or some combination of the three.

At the time, I was unaware of the details surrounding the collection and transliteration of this material. Theo Meier told me only that Ernst Schlager had transcribed lontar manuscripts. This was enough to pique my curiosity, so I asked around in Asak. Yes, there were a few lontar containing notation. However, it was only towards the end of my stay, in late 1973, that I was permitted to see them. Borrowing lontar is not to be taken lightly. These are often sacred objects providing their owner with power, which is something that must be treated with great care and caution. I asked the leader of the sekaha pakayuhan, Jro Nengah Gede, whether he could notate the contents of the lontar for me, to which he replied “yes” and set to work. He took an old schoolbook and wrote the melodies using aksara, and rather than consulting his lontar, he hummed the melodies and wrote them down. I was a bit suspicious: how can a man remember around 60 melodies, many of which are only played once a year? Later, I was able to see the lontar myself and verified its contents with his schoolbook, though under his watchful eyes. Not one mistake.

Later, back in Switzerland, and after I had seen Schlager’s book, I followed Schlager’s lead to use letters to represent the aksara. Because I found that pages full of letters (or numbers for that matter), are difficult to read, I converted the letters back to aksara, which is also more convenient for Balinese readers.

In fact, in Asak there exists only one original lontar, in the possession of the dadia Pulasari in the East of the village. There are one or two full or partial copies of it held by the dadia Pasek in the West of Asak. The original lontar was created by Jro I Nengah Padang, the grandfather of the current leader of the pakayuhan, Jro I Wayan Nesa. It is unknown how Jro Nengah Padang obtained the lontar, perhaps from his family, perhaps from outside the village. Apparently, Schlager borrowed and copied it. In his monograph, there is notation from lontar ascribed to “I Nengah Padang” as well as to a “pamangku selunding”–it is unknown whether the “pamangku selunding” refers to I Nengah Padang. What is certain, however, is that Jro I Nengah Padang (who died shortly before the eruption of Gunung Agung in 1963) was leader of the sekaha pakayuhan, “mangku selunding,” and as such versed in the adat and music of Asak.

Having said this, if you listen to recordings of gambang and selunding melodies and simultaneously read the notation, you will discover discrepancies. A menanga can make “mistakes” for a variety of reasons: gambang and gucekan players may be unfamiliar with the pokok gending, the main melody, or struggle producing the oncangan/figuration, especially in seven-tone melodies, and this may confuse the gangsa player. Furthermore, after hours on end performing, tiredness can also play a role. Another reason for discrepancies, that is not due to “human error,” occurs when the menanga decides, spontaneously, to repeat parts of a melody, which is not indicated in the lontar, because the piece must be adapted to match the duration of a ritual action. For example, if an abuang dance takes longer than the melody, the group will repeat parts of it. The menanga may also, and unexpectedly, cue a melody in a different mode, often without first announcing this to the other players. This practice is called “pelit.”

Tentang manuskrip musik nada tujuh oleh Danker Schaareman (terjemahan oleh Dina Oriza)

Saat melakukan kerja lapangan di Asak, saya menemukan naskah (lontar) yang berisi notasi gending gambang dan selunding. Saya menyadari bahwa Ernst Schlager, dengan bantuan dari Theo Meier, telah mengumpulkan (pada kenyataannya, meminjam) banyak naskah dan dengan susah payah mentranskripsikan mereka, tetapi saya belum memiliki kesempatan untuk melihatnya. Publikasi monograf sesudah meninggalnya Schlager oleh Hans Oesch pada tahun 1974, yang berisi notasi ini, mengungkapkan banyaknya waktu dan kesabaran yang sangat besar yang pasti telah diberikan ke dalam pekerjaan itu. Ada sekitar seratus halaman notasi puh/gending yang dikumpulkan dari desa-desa di sebagian besar wilayah Bali. Ini termasuk puh/gending yang berasal dari Kabupaten Tabanan, Badung dan Gianyar di barat dan selatan, dan Buleleng, Klungkung dan Karangasem di utara dan timur. Menambah kompleksitas yang terlibat dalam mendokumentasikan gending ini, adalah fakta bahwa monograf menggunakan huruf-huruf untuk nada referensi: i untuk ding, O untuk Dong Gede, A untuk Dang Gede, e untuk deng, u untuk dung, a untuk dang cenik, dan o untuk dong Cenik. Tidak jelas siapa yang membuat transliterasi ini. Mungkin Ernst Schlager, Theo Meier, juru tulis Bali, atau kombinasi ketiganya.

Saat melakukan kerja lapangan, saya tidak mengetahui detail seputar koleksi dan transliterasi materi ini. Theo Meier memberi tahu saya bahwa Ernst Schlager telah menyalin naskah lontar. Ini sudah cukup untuk membangkitkan rasa ingin tahu saya, jadi saya mencari tahu di Asak. Ya, ada beberapa lontar yang berisi notasi. Namun, hanya menjelang akhir masa tinggal saya, sekitar akhir 1973, saya diizinkan untuk melihat mereka. Pinjaman lontar tidak boleh dianggap enteng. Ini sering merupakan benda suci yang memberikan kekuatan pada pemiliknya, sehingga harus diperlakukan secara teliti dan sangat hati-hati. Saya bertanya kepada pemimpin sekaha pakayuhan, Jro Nengah Gede, apakah dia bisa mencatat isi lontar untuk saya, yang dia jawab “ya” dan mulai bekerja. Dia mengambil buku sekolah tua dan menulis melodi menggunakan aksara, dan alih-alih berkonsultasi dengan lontarnya, dia menyenandungkan melodi dan menuliskannya. Saya agak curiga: bagaimana seorang pria dapat mengingat sekitar 60 gending, banyak di antaranya hanya dimainkan setahun sekali? Kemudian, saya dapat melihat lontar sendiri dan memverifikasi isinya dengan buku sekolahnya, meskipun di bawah matanya yang waspada. Tidak ada satu kesalahanpun.

Kemudian, kembali ke Swiss, dan setelah saya melihat buku Schlager, saya mengikuti petunjuk Schlager untuk menggunakan huruf (atau juga angka) untuk mewakili aksara. Karena saya menemukan bahwa halaman yang penuh dengan huruf (atau angka), sulit dibaca, saya merubah huruf-huruf tersebut kembali ke aksara, yang juga lebih nyaman bagi pembaca Bali.

Bahkan, di Asak hanya ada satu lontar asli, yang dimiliki dadia Pulasari di timur desa. Ada satu atau dua berupa salinan penuh atau sebagian yang dipegang oleh dadia Pasek di sebelah barat Asak. lontar asli diciptakan oleh Jro I Nengah Padang, kakek dari pemimpin pakayuhan saat ini, Jro I Wayan Nesa. Tidak diketahui bagaimana Jro Nengah Padang memperoleh lontar, mungkin dari keluarganya, mungkin dari luar desa. Rupanya, Schlager meminjam dan menyalinnya. Dalam monografnya, terdapat notasi dari sebuah lontar yang sumbernya dianggap “I Nengah Padang” seperti juga seorang “pamangku selunding” – tidak diketahui apakah “pamangku selunding” mengacu pada I Nengah Padang. Yang pasti, bagaimanapun, Jro I Nengah Padang (yang meninggal tak lama sebelum letusan Gunung Agung pada tahun 1963) adalah pemimpin sekaha pakayuhan, “mangku selunding” dan seperti itulah sangat mengetahui adat dan musik Asak.

Setelah mengatakan ini, jika Anda mendengarkan rekaman gending-gending gambang dan selunding dan secara bersamaan membaca notasi, Anda akan menemukan perbedaan. Seorang menanga dapat membuat “kesalahan” karena berbagai alasan: pemain gambang dan gucekan mungkin tidak terbiasa dengan pokok gending, pokok gending, atau gerakan yang menghasilkan oncangan/figurasi, terutama dalam gending nada tujuh, dan ini mungkin membingungkan pemain gangsa. Selain itu, setelah berjam-jam tampil bermain, kelelahan juga dapat berperan. Alasan lain untuk perbedaan, itu bukan karena “kesalahan manusia,” terjadi ketika menanga memutuskan, secara spontan, untuk mengulangi bagian gending, yang tidak diindikasikan dalam lontar, karena bagian tersebut harus diadaptasi agar sesuai dengan durasi kegiatan ritual. Contohnya, jika tarian abuang memakan waktu lebih lama dari gending, sekaha akan mengulangi lagi sebagian. Menanga juga dapat, dan secara tak terduga, memberi isyarat gending dalam nada yang berbeda, seringkali tanpa terlebih dahulu mengumumkan ini kepada pemain lain. Praktek ini disebut “pelit.”

Sasuratan Pakeling Indik Transkripsi Aksara (terjemahan oleh I Wayan Astika)

Rikenyekan ngawentenang pamaritetes ring Asak, titiang manggihin lontar sane medaging gegrantangan gending gambang miwah selunding. Nyet sampun ring manah titiange, ipun Ernst Schlager sane kawantu olih Theo Meier sampun prasida nuptupang (sakewanten kawiaktian ipun wantah nyelang) makudang-kudang naskah sangkaning berat pisan ipun makarya transkripsi, sakewanten titiang durung polih galah pacang ngetonin. Publikasi monograf sane prasida kapidabdabin sesampun pademne Schlager olih Hans Oesch duk warsa 1974, sane medaging gegrantangan gending puniki, nyinahang akeh pisan nelasang galah, kedegdegan kahyun sane dahat mabuat pisan kalaning midabdabin pakaryane puniki. Wenten sawetara satus bidang gegrantangan puh/gending sane presida katuptupang katah saking desa pradesa sawewengkon jagat Bali. Puniki sampun ngeranjing puh/gending saking Kabupaten Tabanan, Badung miwah Gianyar sisi kauh miwah sisi kelod, raris Buleleng, Klungkung miwah Karangasem ring sisi kaler miwah sisi kangin.Sane ngawewehin malih tur maripurnayang sane nyarengin rikala nyuratang gending puniki, puniki kesekalayang antuk monograf sane ngangge aksara ring sajeroning nada referensi sakadi: aksara i kaangge sajeroning suara ding, aksara O kaangge sajeroning suara Dong Gede, A kaanggen sajeroning Dang Gede, e kaangge sajeroning deng, u kaangge sajeroning dung, aksara a kaangge sajeroning suara dang cenik, miwah o kaangge sajeroning suara dong cenik. Nenten wenten kajantenan ipun sira sane makarya indike puniki. Minab Ernst Schlager, Theo Meier, juru surat saking Bali, utawi kakaryaning sareng maka tetiga.

Rikalaning ngemargiang pekaryan ring lapangan, titiang nenten sumeken tatas ring pantaraning koleksi miwah transliterasi materi puniki. Theo Meier mapitahu ring titiang, kocap Ernst Schlager sampun nedun naskah lontar. Niki sampun tegep anggen ngegiras dot manah titiange mangda uning, mawanan titiang ngerereh ring desa Asak. Raris wenten kepanggih makudang-kudang lontar sane medaging gegrantangan gending. Sakewanten sasampun tutug sengker titiange jenek ring Bali, sawetara penguntat warsa 1973, titiang kelugra ngetonin gegrantangan gending inucap. Nenten dados bawosang dangan kalaning polih nyelang lontar, duaning puniki sering kasinanggeh suci saha presida ngicen kekuatan ring sang maduwe lontar inucap, mawanan patut uratiang saha dahat keplapanin pisan. Titiang mataken ring keliang sekaha pakayuhan, Jro Nengah Gede, punapi jrone prasida nyuratang daging lontare ring titiang, raris kasaurin inggih saha sampun ngawit kekaryanin. Ipun raris ngambil buku sekolah sahasa nyuratang gending nganggen aksara, sepisanan ngadungang ring sane wenten ring lontare, sambilang ipun ngerambang megending raris kasuratang. Titiang sangsaya manahe, sapunapiang pedewekan pacang prasida ngelingang gending kantos makatah 60 gending, rehning akeh gending punika sane ketabuhang awarsa apisan? Raris titiang presida polih ngetonin lontare pedewekan saha mastikayang daging ipun ring sane kasurat ring buku sekolahne, yadiastun saking penyingakane sane dahat waspada. Nenten wenten iwang angan asiki.

Raris selantur ipun, mewali ke Swiss, sesampune titiang ngetonin buku sane kakardi olih Schlager, titiang nginutin pawarah Schlager nganggen tulisan ( sapunika taler angka) kaanggen ngewakilin aksarane. Duaning akeh sane kepanggihin sajeroning halaman punika sesek medaging tulisan ( utawi angka), meweh pisan pacang maosin, raris titiang malih ngubah tulisan punika nganggen aksara, sane rasayang becikan anggena ring pangwacen Bali.

Semalihne, ring Asak amung wenten wantah asiki lontar sane asli, sane kadruwe antuk dadia Pulasari ring sisi kangin desane. Wenten siki, kalih merupa tedunan sane jangkep utawi abagian sane kagamel antuk dadia Pasek ring sisi kauh desa Asak. Lontar sane asli kakardinin olih Jro I Nengah Padang sane pernah kaanggen pekak saking keliang sekaha Pekayuhan kala puniki Jro I Wayan Nesa. Nenten kawikanin sapunapi Jro Nengah Padang molihang lontar, napike saking pasemetonane, napike saking liwaring kuwuban desane. Manahang titiang Schlager nyelang saha nedun malih. Sajeroning monografine, wenten kasurat gegrantangan gending saking lontar sane sumber ipun kaangkenin saking I Nengah Padang, sapunika taler indik pemangku selunding, nenten kawikanin napike pemangku selunding punika katuwekang ring I Nengah Padang. Sane pastika Jro I Nengah Padang (sane seda nenten suwe sadurung Gunung Agung meletus duk warsa 1963) inggih punika pinaka pemucuk sekaha pakayuhan, “mangku selunding”, wantah sekadi punika dahat wikan ring adat miwah gamelan ring Asak.

Sasampune mawosang puniki, pet prade Ida dane miarsayang rekaman gending-gending gambang miwah selunding, semaliha sinarengan sareng mawosin gegrantangan gending punika, ida dane pacang manggihin pabinayan. Sane kapucukang dados menanga, midep manten makarya kaiwangan sangkaning makudang-kudang pilabi sakadi : juru tabuh gambang sareng tukang gucekan menawi nenten biasa ring pokok gending, utawi tetikas sane ngawetuang oncang-oncangan/figurasi, utaman ipun ring gending saih pitu, puniki taler midep ngawing juru gangsane dados bingung. Bina ring punika taler midep sane ngawinang sangkaning kenyel rehning suwe kantos jam jaman sampun nabuh. Pilabi siosan sajeroning pabinayan, punika boya ja sangkaning “kaiwangan imanusa” nanging sangkaning dane jero menanga sahasa ngambil pamutus sane nenten manut sekadi daging lontar, rehning bagiane punika mangda keadungang ring pawanengan pegilih pemargin upacara. Conton ipun, rikala sasolahan abuang nelasang galah rangkungan ring bacakan gending, mawanan sekaha inucap pacang mewali malih ngambialang tetabuhan malih abagian. Sapunika naler dane jero menanga prasida dados tur nenten mewangsit ngingsirang saih gendinge. Sering pisan nenten kerihinin antuk mapitahu ring juru tabuh sedurunge, Kawentenan pemargine puniki kebawos “pelit”.