From Issue 1
Selonding: Nafas dan Kehidupan Baru
I Putu Arya Deva Suryanegara
Selonding merupakan gamelan yang diperkirakan sudah ada sejak beberapa abad lalu. Pada awalnya gamelan ini hampir ditemukan di seluruh Bali, tetapi hanya di beberapa desa yang masih aktif memainkannya, seperti di kabupaten Karangasem dan Bangli. Dalam beberapa dekade terakhir selonding sudah menyebar dan dipelajari di seluruh Bali, sekaligus difungsikan berbeda dari konteks aslinya. Kini para seniman menggunakannya untuk membuat karya-karya musik baru yang berbeda dari gending selonding sebelumnya. Melihat fenomena itu, saya memutuskan datang ke Desa Tenganan Pegringsingan, salah satu desa yang paling dikenal dengan selondingnya, untuk memulai menanyakan bagaimana cara atau proses penyebaran selonding ke berbagai daerah di Bali saat ini. Selain itu saya juga mendapatkan kesempatan mewawancarai I Wayan Sinti, I Made Subandi dan menemukan data-data di arsip ISI Denpasar berupa rekaman karya karawitan yang menggunakan selonding.
Desa Tenganan Pengringsingan
Di Desa Tenganan Pegringsingan saya bertemu dengan seorang pembuat selonding yang bernama Putu Suardana. Dia merupakan anak dari seniman selonding dan gambang yang bernama I Nyoman Partha Gunawan (1949-2015). Saat itu kami baru pertama kali bertemu, namun keramahannya untuk menerima kehadiran saya mencerminkan bagaimana kebaikan dan kerendahan hatinya. Kurang lebih selama dua jam kami berbicara membahas seputaran selonding di Desa Tenganan Pegringsingan dulu dan kini, sampai pembicaraan saya terpotong karena mendengar suara selonding dari luar rumah Suardana. Kebetulan pada saat itu selonding kuno dimainkan secara bergiliran.
Gending yang dimainkan saat itu belum pernah saya dengar sebelumnya. Saya sangat ingin merekam gending itu untuk dipelajari, namun tiba-tiba Suardana melarang saya. Ia mengatakan gending itu sangat keramat. Walaupun demikian, konon dikatakan pernah ada seseorang secara “nakal” atau diam-diam merekam gending itu dengan ponsel, seketika ponsel yang dibawanya meledak tanpa sebab.
Lalu, apakah gending-gending yang sering dimainkan dan dipelajari di luar Tenganan saat ini bukan asli Tenganan Pegringsingan? Suardana menjelaskan kepada saya, selonding yang dimainkan saat itu merupakan selonding kuno yang disimpan di tempat yang bernama Bale Patemu Kelod, Bale Patemu Tengah, dan Bale Patemu Kaja. Gending-gending yang biasa dimainkan dikelompokan menjadi dua, yakni Geguron dan Petegak. Geguron merupakan gending yang sangat dikeramatkan dan hanya dimainkan pada saat upacara tertentu saja, tidak boleh dimainkan sembarangan. Sedangkan Petegak merupakan gending instrumental yang bisa dimainkan secara lebih bebas sesuai kebutuhan upacaranya. Jadi Suardana menjelaskan, gending-gending yang sering dimainkan di luar Tenganan Pegringsingan saat ini adalah Petegak.
Salah satu peristiwa yang dapat dikatakan peyebab proses keluarnya selonding dari Desa Tenganan Pegringsingan adalah ketika tahun 1971 guru-guru KOKAR Bali melakukan penelitian ke Desa Tenganan Pegringsingan dan pada tahun 1973 Gunawan memulai belajar membuat selonding dengan ayahnya sendiri yang bernama Bapa (bapak) Siari (alm). Suardana mengatakan, pada tahun 1982 Gunawan sudah menyelesaikan set gamelan pertama buatannya sendiri dan kini gamelan itu masih tersimpan di Hotel Amankila Karangasem.
KOKAR (Konservatori Karawitan)
Pada tanggal 11 Februari 1971, guru-guru KOKAR Bali (kini SMKN 3 Sukawati) yang diantaranya I Nyoman Rembang, I Wayan Beratha, dan I Wayan Sinti, melakukan penelitian tentang selonding di Desa Tenganan Pegringsingan. Menurut Sinti, saat itu mereka datang ke Desa Tenganan Pegringsingan selama satu minggu untuk belajar langsung dengan Gunawan dan penabuh lainnya.
Beberapa tahun kemudian, Gunawan diundang langsung ke KOKAR Bali untuk menampilkan, memperkenalkan dan mengajarkan gending selonding kepada para siswa, dimana kegiatan itu dilakukan dalam rangka ulang tahun sekolah. KOKAR Bali sebagai pusat pendidikan seni karawitan mempunyai peran terhadap perkembangan selonding saat ini, karena para siswa dan guru-guru KOKAR merupakan tokoh-tokoh gamelan yang memperkenalkannya ke masyarakat. Sinti juga menerangkan, “sekitar tahun 1986, KOKAR Bali adalah sekolah atau lembaga seni yang pertama kalinya mempunyai dan membeli selonding gaya Tenganan yang dibuat oleh Gunawan dan dipelajari di luar Desa Tenganan Pegringsingan.”
Mulai saat itu sosok Gunawan semakin dikenal oleh masyarakat Bali dan mendapat pesanan membuat selonding baru untuk grup dari luar Desa Tenganan Pegringsingan. Suardana menjelaskan bahwa Gunawan telah membuat kurang lebih 50 barung selonding untuk jual di luar Tenganan. Sebagian misalnya di desa-desa seperti Celuk, Sading, dan Ubud; di kota Denpasar; dan beberapa pernah dikirim ke luar negeri, termasuk Amerika, Inggris, Prancis dan Jepang.
Rekonstruksi di Desa Bebandem
Berkembangnya selonding gaya Tenganan membawa angin segar terhadap keberadaan selonding di tempat lain juga. Selain terdapat di Desa Tenganan Pegringsingan, selonding juga terdapat di beberapa desa sekitarnya seperti Selat, Tenganan Dauh Tukad, Bungaya, Bugbug, Asak, Timbrah dan Bebandem. Dan pada tahun 1993 Yayasan Selonding Bali mulai merekontruksi selonding yang ada di Desa Bebandem. Gending-gending yang dimainkan beberapa diantaranya berasal dari selonding Bungaya dan Bugbug. Dalam buku Pande Wayan Tusan, selonding Bebandem sudah disebutkan juga di dalam sebuah prasasti yang bernama Maharaja Jayasakti tahun Saka 1052-1072 atau 1130-1150 Masehi. Seperti yang ditulis dalam deskripsi sebuah album selonding Bebandem dari Komunitas Gamelan Sarati Svara sebagai berikut:
“Termotivasi oleh referensi ke ansambel selonding dalam prasasti abad ke-11, pada tahun 1993 Yayasan Selonding Bali yang baru dibentuk untuk merekonstruksi seperangkat instrumen di Desa Bebandem. Tujuannya adalah untuk membangun kembali kelompok pertunjukan dan mengenalkan kembali ansambel pada praktek ritual di daerah tersebut…” (Baca selengkapnya di halaman rilis Salu Ening).
Dalam perkembangan selonding Bebandem, secara terbuka mulai disebarluaskan oleh seorang pande besi (orang ahli dibidang besi) di Banjar Pande Tunggak, Desa Bebandem yang bernama Pande I Wayan Widia. Dia mulai membuat instrumen sendiri pada tahun 2002, namun sebelum itu sudah ikut membantu rekontruksi selonding yang ada di Pura Batur, Pura Besakih dan Pura Desa Bebandem. I Wayan Widia mengatakan selonding Batur memiliki bobot besi yang paling besar, bilah jegogan panjangnya 75cm, lebar 15cm, tebal 1cm.
Peranan I Wayan Widia dan I Nyoman Partha Gunawan sebagai pembuat selonding sangat berpengaruh terhadap eksistensi selonding Bebandem, Batur, Besakih, dan Tenganan. Dengan semakin dikenalnya oleh masyarakat luas dan banyaknya permintaan untuk membuat yang baru, memberi pengaruh juga terhadap pande-pande di luar Karangasem misalnya I Made Jana di Jalan Ratna dan I Wayan Warsa di Desa Penatih, Denpasar. Menurut beberapa sumber, Gunawan membuat bilahnya di Denpasar dan secara langsung memberi pengetahuan tentang cara membuat selonding sehingga mereka bisa membuatnya saat ini.
Pembuatan selonding juga dipengaruhi faktor-faktor perekonomian di Indonesia selama separuh abad sebelumnya yaitu pada masa industrialisasi modern. Perubahan atas pencaharian masyarakat dunia yang menyebabkan banyaknya produksi barang-barang besi, sehingga sekarang ketersediaan barang bekas misalnya dari kendaraan, mesin, alat-alat pabrik, dan lain-lain merupakan sumber bahan yang tepat untuk membuat selonding baru. Terdapat perbedaan material antara selonding yang melalui proses rekontruksi dengan yang dibuat baru. Selonding yang melalui proses rekontruksi memiliki bahan besi khusus dan proses pembuatannya memakan waktu yang lebih lama karena bahan yang dipakai lebih berat dan tebal, seperti satu bilah di Pura Batur mencapai 5kg, dan di Pura Desa Bebandem satu bilahnya 3kg. Sedangkan selonding yang akan dibuat baru kebanyakan menggunakan besi daur ulang dan potongan lempengan baja lebih ringan, juga pengerjaanya cenderung lebih cepat.
Perubahan Fungsi Selonding
Selonding sudah mengalami banyak perubahan fungsi ketika berada di luar Tenganan dan Bebandem. Di tempat itu orang menganggap selonding sebagai benda keramat, dan difungsikan untuk upacara tertentu saja. Ketika gamelan ini menyebar, masyarakat Bali mulai melihatnya sebagai alat musik biasa dan difungsikan pada upacara yang beraneka ragam. Itu sebabnya selonding sudah memasuki budaya yang berbeda dari daerah aslinya dan sesajennya pun tidak sama, contohnya selonding gaya Tenganan yang saya beli pada tahun 2012 dari Pande I Wayan Widia. Saat ini gamelan tersebut tetap mendapatkan sesajen dan disucikan, namun tidak sampai di-pasupati. Menurut tutur tetua saya, apabila selonding tersebut di-pasupati, nantinya akan menjadi benda keramat dan memerlukan sesajen yang lebih besar dari gamelan lainnya. Berdasarkan sikap itu, tentu selonding gaya Tenganan ini sudah mulai tercampur dengan budaya yang ada di desa saya sendiri atau dikenal dengan Desa Mawecara, yaitu desa memiliki cara (kebiasaan, adat, budaya) dan pendatang ke suatu desa tersebut diminta untuk menyesuaikan diri, bukan sebaliknya.
Selain itu, saya pernah melihat pementasan selonding pada upacara biasa atau umum, diantaranya odalan sanggah, melaspas, telu bulanan, mepandes, nganten, dan ngerorasin. Gending yang biasanya dimainkan juga merupakan gending Petegak untuk mengiringi sebuah prosesi di Desa Tenganan Pegringsingan. Seperti misalnya gending Rejang Ileh dan Mekare-kare. Rejang Ileh biasanya digunakan untuk mengiringi tari rejang upacara, dan Mekare-kare digunakan untuk mengiringi ritual Megeret Pandan, namun kini di daerah lain digunakan sebagai tabuh-tabuh instrumental dan tanpa ada kaitan ritual seperti konteks aslinya.
Ketika melihat fenomena ini, Sinti berkomentar bahwa segala sesuatu yang terjadi begitu wajar, karena gamelan harus dikembangkan dalam konteks ilmu pengetahuan:
“Begini, pola pikir modern, ilmu itu secara umum harus disebarluaskan. Mungkin itu dasarnya, yang pertama disebarluaskan ke KOKAR, karena kita berkeinginan untuk belajar selonding. Tapi walaupun demikian, menurut keterangan para Empu di Desa Tenganan Pegringsingan, dikatakan ada beberapa gending yang disakralkan. Gending itu dikatakan Geguron. Artinya kalaupun gamelannya disakralkan, tapi kemudian itulah pola pikir kita yang berbeda, ilmu itu harus disebar luaskan. Itu kira-kira…”
Selain perubahan fungsinya, selonding juga mengalami perubahan dalam posisi nada pada instrumen gong dan kempul. Selonding di Desa Tenganan Pegringsingan memiliki susunan nada yang unik dan disusun dengan pola tertentu apabila dipukul secara berurutan dari bilah paling besar ke kecil. Dan menurut I Made Subandi, berawal dari ide I Dewa Gede Darmayasa gong dan kempur pada selonding disusun secara teratur (baca: berurutan dari bilah paling besar ke kecil) dan menggunakan sistem pada instrumen gong pulu; nada ngumbang isep (ombak) dibuat berdampingan. Sehingga efeknya, orang akan lebih mudah untuk mempelajari selonding dan bisa digunakan untuk membuat karya-karya baru.
Perkembangan Karya-karya Baru
Selonding beberapa tahun sebelumnya jarang mendapat sentuhan dari komposer Bali. Hampir tidak ada komposer yang membuat karya baru untuk instrumen ini, seperti layaknya gamelan gong kebyar yang digolongkan sebagai gamelan baru. Selonding yang dianggap lebih awal keberadaannya, justru tidak ada banyak gending baru yang bermunculan. Mungkin saja dikarenakan faktor kurangnya alat selonding yang boleh dipakai di luar upacara waktu itu.
Menurut Suardana, ayahnya sangat menyayangkan kenapa ia tidak pernah melihat orang membuat karya baru untuk selonding seperti halnya gong kebyar? Itulah landasan Gunawan untuk membuat satu gending selonding yang bertajuk Kelompok Guna pada tahun 2005 bersama sanggarnya Guna Winangun. “Kelompok Guna” artinya sebuah kelompok (baca: sanggarnya) yang berguna untuk semua orang. Maka dapat diartikan, beliau membuat karya ini berharap bisa menempatkan sanggarnya sebagai penggerak dalam aktivitas mengembangkan selonding.
Beralih dari pola pikir Gunawan, ternyata mulai tahun 1990 baru ada orang yang menggunakan selonding sebagai media ungkap karya barunya. Data ini didasari oleh hasil pengamatan saya pada dokumentasi karya tugas akhir yang masih disimpan di ISI Denpasar. Karya itu diciptakan oleh I Dewa Gede Darmayasa sebagai musik tari garapan koreografer I Wayan Sama.
Ketika itu Darmayasa sudah berani mengolah dan mengembangkan teknik dan bunyi pada selonding. Seperti pada judul gending-nya adalah Kembang Pagringsingan yang dapat diartikan sebagai pengembangan dari budaya di Desa Tenganan Pagringsingan. Darmayasa menambahkan instrumen lain pada barungan yang sudah ada, yakni instrumen kendang kekrumpungan (lanang dan wadon), kecek, suling, dan juga gerong atau vokal. Melalui pengolahan itu, karya yang dihasilkan sangat kompleks, seperti layaknya gending pada gamelan gong kebyar dan semara pegulingan. Terdapat berbagai jenis ritme dan tempo, angsel, melodi, dan pengolahan komposisinya terkesan lebih panjang dari komposisi selonding biasanya.
Saya juga menemukan rekaman gending yang menggunakan selonding karya I Ketut Lanus yang diciptakan pada tahun 1994. Karya itu berjudul Kekal dan merupakan karya musik tari yang dikoreografi oleh Ketut Mertaasih. Lanus saat itu juga menggabungkannya dengan intrumen kendang sunda, kajar, gender rambat, dan suling. Dengan itu karya Lanus saat itu sangat kaya dengan nada dan pengolahan musikal.
Mulai sejak itu selonding menjadi media ungkap alternatif para komposer Bali. Seperti yang dikatakan Sinti:
“Selonding… tidak banyak memerlukan penabuh, dan juga apabila dibandingkan dengan gambang, tidak terlalu sulit. Kalau gambang itukan, melodinya panjang sulit untuk dihafal, lagunya juga banyak macamnya dan teknik koteknya lebih rumit daripada gamelan lain dan sulit untuk dimengerti… Lagu selonding lebih gampang dimengerti.”
Anggapan Sinti memang mengesankan sebuah alternatif apabila dibandingkan gamelan gong kebyar yang memerlukan 30-an orang.
Sebagai pandangan lain, I Made Subandi, seorang komposer ternama di Bali, menyatakan bahwa ia sangat tertarik dengan selonding karena gamelan ini memiliki spirit dan energi yang sangat religius, dan reportoar hasil dari lagunya sangatlah dinamis dan melodis juga. Gamelan tujuh nada ini sangatlah menarik untuk dieksplorasi karena juga memakai dua panggul untuk memainkanya. Hal tersebut dikarenakan Subandi memang terkenal ahli dalam bermain gender wayang, dan suka mengeksplorasi gamelan yang memakai dua panggul. Pada tahun 1991, ia sudah mulai menggunakan selonding dalam karyanya. Idenya terinspirasi oleh gending Seketi dari gender wayang. Serta pada tahun 2004, Subandi kembali membuat karya yang menggabungkan selonding dengan semarandana.
Kini gamelan selonding sudah masuk dalam tatanan komposisi musik baru. Banyak karya yang telah dibuat oleh komposer di Bali, sebagai contohnya dalam acara sesi rekaman yang dilakukan oleh Insitu Recordings dan dikenal dengan nama Insitu Sessions. Ada saja komposer yang menggunakan selonding misalnya karya yang berjudul Kau karya I Wayan Ari Widyantara (Insitu Sessions 1), Konstelasi karya I Putu Suwarsa (Insitu Sessions 2), Sukasih karya I Nyoman Triana Putra, Wed karya I Gede Yudi Dananjaya (Insitu Sessions 3), Ujan Memedi karya I Putu Arya Deva Suryanegara (Insitu Sessions 4), dan Keselarasan Abu karya Laurent Bellemare (Insitu Sessions 5).
Selain itu, kini telah tercipta gamelan baru yang bernama Gamelan Pesel, karya I Wayan Arik Wirawan, yang terinspirasi dari selonding. Gamelan Pesel sudah banyak memiliki karya-karya baru yang menggunakan teknik selonding dalam. I Wayan Arik Wirawan juga pernah membuat beberapa gending selonding baru yang mirip gaya selonding Tenganan Pegringsingan (cek artikel edisi ini tentang Gamelan Pesel). Alhasil, selain terciptanya banyak karya musik baru, selonding juga mampu menginspirasi seseorang untuk bisa melahirkan gamelan baru.
Melihat fenomena tentang selonding saat ini, sangat banyak hal menarik yang kita bisa dapatkan. Di daerah asalnya, selonding sangat dikeramatkan dan betul-betul dijaga kesucianya sampai orang yang tidak berasal dari sana dilarang untuk menyentuhnya. Namun dengan perjalanan waktu, selonding pun mulai terbuka sejak I Nyoman Partha Gunawan berhasil membuat replika gamelan yang ada di Desa Tenganan Pegringsingan. Sehingga pada akhirnya banyak orang yang mulai tertarik di seluruh Bali bahkan dunia.
Pada acara Bali Mandara Mahalango, tanggal 23 Agustus 2015, Sanggar Seni Sudamala, Desa Tangkas, Kabupaten Klungkung mementaskan karya baru dengan instrumen selonding dan suling yang berjudul Sadu Gunawan sebagai respon kreatif dan penghormatan kepada I Nyoman Partha Gunawan ciptaan dari I Komang Sukarya. Itu membuktikan bahwa I Nyoman Partha Gunawan adalah salah satu orang yang penting dalam perjalanan selonding pada abad ke dua puluh. Usaha-usaha yang dilakukan oleh I Nyoman Partha Gunawan, guru-guru KOKAR, Pande Wayan Tusan, I Wayan Widia, I Dewa Gede Darmayasa, I Made Subandi, I Komang Sukarya dan beberapa tokoh lainya seolah-olah memberi nafas dan kehidupan baru terhadap selonding. Selonding mulai menjelma menjadi sarana yang relevan dalam berbagai komposisi dan ruang-ruang baru.
I Putu Arya Deva Suryanegara
Bacaan Terkait
Tusan, Pande Wayan. 2001. Selonding Tinjauan Gamelan Bali Abad X – XIV. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
Team Survey Guru-guru Kokar Bali di Denpasar. 1972. Musika Brosur Mengenai Ilmu Musik dan Koreografi. Jakarta: Lembaga Musikologi dan Koreografi.