From Issue 1

Pilihan Terbaik Gong Kebyar

Michael Tenzer

Terima kasih saya ucapkan kepada Insitu Recordings atas kesempatannya untuk menuliskan pendapat, emosi, pikiran dan bayangan tentang musik kebyar yang telah menjadi obsesi saya sejak lebih dari 40 tahun yang lalu. Saya telah mencintai kebyar sejak bulan April 1976, sewaktu saya masih mahasiswa dan secara sembarangan membeli piringan hitam yang berjudul “Golden Rain” (Hujan Mas) yang isinya adalah Tabuh Hujan Mas dan Oleg Tumulilingan pada Side A yang dibawakan oleh Sekaha Gong Gunung Sari Peliatan, dan Kecak di Side B yang dinyanyikan oleh sekaha setempat. Pertama kali saya mendengar piringan hitam itu, saya langsung jatuh cinta dan bernafsu kuat pergi ke Bali untuk belajar.  Setahun kemudian dengan dukungan beasiswa dari universitas, saya mendarat di Gilimanuk, persis pada hari ulang tahun saya yang ke-20. Saya menyewa sebuah pondok tepi sawah di kampung pelukis I Ketut Madra di Desa Peliatan, dan mulai belajar dengan tokoh-tokoh seperti I Nyoman Sumandhi di KOKAR Jalan Ratna, dan I Wayan Gandera di Desa Peliatan.

Kalau disambung, sejak saat itu saya telah melewatkan setidaknya 5 tahun di pulau Bali sendiri. Tidak terhitung jam, hari, minggu, bulan dan tahun dalam aktivitas belajar, mencipta, mendengar, memainkan, mengajar, mempromosikan, menuliskan, memperteorikan, memikirkan dan membicarakan gambelan di negara Amerika, Kanada dan Perancis. Itu tidak sedikit. Saya ikut mendirikan 4 sekaha gambelan di California (Sekar Jaya, 1979), New Haven, Connecticut (Sekar Kembar, 1986 dan Jagat Anyar, 1992), dan Vancouver (Gita Asmara, 2001) dan pernah membimbing grup di Perancis (2003, 2009). Saya fanatik dan bermimpi kebyar.

Redaksi Insitu menugaskan saya untuk memilih tabuh yang terbaik atau paling disenangi. Jelas memilih menimbulkan rasa seperti “nggak mungkin” sebab terlalu sukar! Apalagi memilih melibatkan: 

  • Rasa atau selera saya pada saat memilih
  • Nilai bakat/kualitas bentuk gending menurut analisa atau studi
  • Kepopuleran gending di masyarakat Bali
  • Hormat pada gending oleh pihak sesepuh
  • Inovasi dan pengaruh gending terhadap perkembangan sejarah seni gambelan Bali
  • Sipnya gegeub dan kekompakan juru penabuh yang terdengar di rekaman
  • Bagusnya suara kerawang dalam barungan gambelan yang dipikul
  • Kedalaman pengalama saya tentang gending itu sendiri – misalnya seperti jika saya pernah memainkannya sendiri

Repot jadinya! Pikiran pasti macet kalau menghitung semua itu. Lebih baik terus menerus seperti kebyar itu sendiri—beranilah!

Untuk mulai, saya pisahkan jagat komposisi kebyar dalam empat bagian : Tabuh Kreasi Baru, Gending Tari, Tabuh Kebyar Lelambatan, dan Vokal. Dalam tiap kategori, saya menaruh tabuh-tabuh yang saya amat gemari dan kenal lama. Yang paling tua adalah dari tahun 1925 (kurang lebih) dan yang terbaru dari 2005—berselisih jarak 80 tahun. Tabuh-tabuh kebyar sesudah tahun 2005 tidak sepenting yang sebelumnya sebab sejak kira-kira tahun 2000 seniman muda kurang tertarik pada kebyar dibandingkan dengan Gambelan Semarandana atau jenis-jenis experimen/campuran. Maka saya berpendapat bahwa masa jaya kebyar bisa dikatakan sudah lewat. Patut jadinya, kalau mencari pandangan luas tentangnya sebagai ”zaman lampau”.

Kategori tabuh kreasi baru adalah satu-satunya yang betul-betul asli berakar dari kebyar (walaupun jelas ada saja unsur yang lama)—yang kategori lainnya lebih banyak meminjam materi dan bentuknya dari gambelan atau tradisi yang lebih kuno seperti gambelan Gong Gede atau Pelegongan. Ada banyak sekali tabuh kreasi yang bermutu, dan saya sulit memilih kurang dari 7 tabuh, yaitu:

Tabuh Kreasi Baru

1. Kebyar Ding (Gusti Made Regog, Belaluan Sadmerta tahun ~1925)

Stil kebyar mulai di Buleleng tapi muncul juga di Bali selatan tepatnya di Belaluan dan di Tabanan. Penabuh Belaluan punya energi dan kekompakan yang luar biasa. Dari segi komposisi yang mengagumkan adalah motif-motif kebyar, yaitu yang tidak memakai hitungan tertentu, yang terjun tak henti-henti.  Saat itu motif seperti itu sangat berinovasi—dari mana datang inspirasinya? Sulit membayangkan.

2. Kapi Raja (anonim) atau Jaya Semara (Wayan Beratha 1964)

Tabuh Jaya Semara sangat mirip dengan Tabuh Kapi Raja yang sudah diketahui di Buleleng pada tahun tigapuluhan. Kita bisa buktikan ini karena Kapi Raja disebut dalam bukunya Colin McPhee yang berdasar pada penilitian beliau yang diadakan pada zaman itu. Kapi Raja juga dimainkan di Desa Peliatan waktu saya belajar disitu pada tahun tujuhpuluhan. Tetapi dalam Jaya Semara, Pak Beratha banyak mengubah bagian kebyarnya. Gending ini populer karena singkat, cocok dipakai untuk tabuh pembukaan dan karena semua instrumen diberikan waktu untuk bermain tunggal. Walaupun pengunaan instrumen-instrumen sering berganti didalamnya, tetapi ada benang melodi yang mudah diikuti.

3. Goak Macok (Pindha 1968)

Masa jayanya Sekaha Gong Dharma Kesuma Pindha puncaknya pada tahun 1968, waktu mereka melawan Sekaha Gong Geladag dalam Festival Gong. Waktu itu mereka dipimpin oleh Bapak Wayan Tembres almarhum dari Desa Blangsinga, salah satu guru kendang yang saya paling cintai. Energi tabuh ini betul-betul gila dan berisi unsur-unsur istimewa, terutama keterletakan bagian gineman tersembunyi pada akhir gending dimana tidak  mungkin diperkirakan! Ada juga banyak motif ocak-ocakan yang hebat, dimainkan oleh penabuh-penabuh reyong yang tidak ada duanya di Bali sampai saat ini.

4.  Jaya Warsa (Gusti Putu Griya; Gladag 1968) atau Kosalia Arini (Wayan Beratha 1969)

Bapak Putu Griya dari Desa Buagan adalah salah satu juru gambelan yang paling terpelajar di abad duapuluh. Beliau mengisi Jaya Warsa dengan macam-macam ide, termasuk motif klasik maupun yang baru. Yang klasik termasuk kotekan berdasarkan Sekar Gendot yang berasal Gambelan Gender Wayang dan yang baru termasuk suatu kotekan yang terus-menurus memakai motif yang sangat kecil terdiri dari tiga nada saja yang berulang tanpa gerak sama sekali, sedangkan melodi pokoknya jalan terus. Pada tahun berikutnya Pak Beratha mengolah sebagian dari Jaya Warsa untuk tabuhnya yang berjudul Kosalia Arini, tapi beliau membuang, menambah dan mencampur materi. Kosalia Arini lebih sederhana dari Jaya Warsa, tapi keduanya sangat memuaskan. Kosalia Arini (bersama Palguna Warsa, karya Wayan Beratha yang sebelumnya) juga mengawali bentuk gending Tabuh Kreasi Baru—gegenderan/kebyar, reyongan, kotekan, variasi kendang, dan akhirnya bagian penutup (sering dinamakan pengecet)—yang diikuti hampir semua gending berikutya selama hampir tiga puluh tahun.

5. Merak Ngelo (Gusti Bagus Suarsana; Perean 1974)

Sekaha Gong Abdi Budaya Desa Perean terdiri dari seniman alam seratus persen yang kebanyakan bekerja di sawah dan pada malam harinya mereka bergabung membuat musik yang maut. Mereka punya materi segalanya kelas A dan bermacam-macam yang disodorkan oleh pembina Gusti Bagus Suarsana, tapi kesatuan pemain adalah yang paling mengagumkan. Pernah saya ukur kecepatan mereka bermain sebuah kotekan gegenderan, lebih dari 200 pukulan kempli dalam satu menit. 200 pukulan kali 4 nada kotekan per pukulan adalah 800 nada se-menit, kalau dibagi dua antara polos dan sangsih berarti 400 pukulan se-menit, oleh masing-masing juru gangsa. Tapi kalau main bersama, mereka tidak sekedar seperti mesin. Ketrampilan mereka adalah penuh dengan perasaan dan nuansa. Inilah yang betul-betul sebuah puncak gambelan. Saya memberi pengakuan istimewa pada tukang sulingnya, yang bermain kebanyakan nada diluar laras gambelan, seperti membawa angin seni yang segar sekali.

6. Jagra Parwata (I Nyoman Windha; Munduk, Buleleng 1991)

STSI (kini ISI) betul-betul muncul sebagai faktor penting dalam kalangan musik Bali pada tahun delapanpuluhan dan sembilanpuluhan, dan I Nyoman Windha menonjol sebagai komponis STSI yang paling lincah dan berbakat dalam periode ini. Tabuh kreasi barunya dari waktu itu amat memperkaya “bahasa” kebyar, dengan lagu-lagu yang banyak lebih panjang dan sering memiliki hitungan ganjil, tidak jatuh pada gong seperti yang dinantikan, atau berjalan pada arah bengkok—tapi selalu indah cemerlang dan penuh hal-hal yang tak terduga. Lagu-lagu Windha mudah dinyanyikan dan mampu melekat di akal sepanjang umur. Di sini saya sebut Jagra Parwata, yang dibuat untuk sekaha gong dari Desa Munduk yang pada tahun itu mewakili Kabupaten Buleleng di Festival Gong, tapi banyak tabuh yang lain bisa mengantinya. Jagra Parwata mengisi bagian suling yang memperkenalkan nada-nada saih pitu dalam gending kebyar untuk pertama kalinya. Saya juga memilihnya karena kebetulan saya berada di Bali waktu festival tahun itu dan sempat berkunjung ke latihan di Munduk. Wah, tak akan saya lupa hebatnya sekaha itu, serta ramahnya para pembina setempat terutama Pak Made Terip. (Pada hal, pada tahun yang sama Windha juga menciptakan Gora Merdawa di Desa Batubulan, dan saya sempat hadir juga pada latihan mereka. Tahun 1991 adalah tahun yang subur sekali untuk Windha. Mana pilihan yang terbaik?

7. Caru Wara (Dewa Ketut Alit; Cenik Wayah Ubud, 2005)

Pada tahun 1995 Gede Yudane menciptakan karya Lebur Seketi, dimana semua peraturan dan kebiasaan tabuh kreasi baru seolah-olah ter”lebur” atau dibalikan hingga berdiri di atas kepala. Memperkacau adalah maksud Yudane dan setelahnya, para komponis Bali mempunyai pilihan: terus-menerus dengan stil kebyar resmi, atau bergerak bebas—akan tetapi berarah kemana? Juga dalam periode ini banyak pengaruh luar masuk, disebabkan interaksi dengan seniman asing, dan keberadaan rekaman musik se-dunia. Semuanya itu menyebabkan gatalnya seniman untuk menjadi independen dan berpikir tersendiri. Daerah Ubud, dari masa lampau sudah kaya seni dan mengambil peranan terkemuka. Antara banyak seniman yang berbakat tinggi, ide-ide oleh Dewa Ketut Alit dari Pengosekan yang menonjol. Alit berpikir keras dan lama untuk mengembangkan ide-idenya. Caru Wara sangat lepas dari bentuk tabuh kreasi yang lama diperjuangkan oleh I Nyoman Windha, serta memasukan pola-pola ritme yang amat baru pada banyak tingkat bentuk gending. Tidaklah lupa menyebut bahwa pembawa tabuh ini, sekaha Cenik Wayah terdiri (pada waktu itu) dari anggota yang masih bocah semua.

Gending Tari

Dari awal, kebyar telah menjaga hubungan erat antara tari dan gambelan. Tapi pendapat penulis adalah bahwa hanya beberapa tari kebyar boleh dikatakan benar-benar berhasil. Mengapa begitu? Kira-kira itu menjadi topik polemik untuk lain kali….disini saya cuma sebutkan bahwa mencari kebebasan dan transformasi dalam memainkan sekedar nada-nada kerawang mungkin lebih gampang dari pada revolusi dalam cara gerak badan. Bagaimanapun, dibawah ini saya akan ungkapkan pendapat tentang tabuh iringan dari beberapa tari lepas, bukan tarinya sendiri.

8. Tari Oleg Tumulilingan (Pan Sukra  dari Tabanan; Sekaha Gong Gunung Sari Peliatan, 1952)

Bagian pertama tabuh Oleg sangat manis, lincah, dan canggih dari segi struktur. Empat lapisan—yaitu lagu pokok, payasan pokok, tempo, dan jatuhnya angsel berubah dengan cara tersendiri, sehingga dengan materi minimal seperti terdengar tidak pernah diulang. Bagi saya inilah suatu esensi penting dalam komposisi tabuh gambelan Bali, yaitu sebuah musik yang berulang terus karena struktur gong kembali secara mudah diramal, sedangkan unsur-unsur lainya berubah tak berhenti. Bagian-bagian berikutnya juga sangat efisien dari segi struktur, dan segalanya. Kalau dibawakan oleh grup yang peka, maka bisa dinuansakan dengan banyak gerakan tempo dan dinamika yang memberi Oleg karakter amat hidup.

9. Tari Kebyar Legong (Gde Manik dan Pan Wandres; Sawan, Buleleleng)

Kebyar Legong  adalah ketua sekelompok tari yang juga termasuk versi lain seperti  Kebyar Taruna, Taruna Jaya, Kebyar Gandrung, dan Wiran Jaya. Kebyar pembukaan semua gending tersebut berwibawa sebagai inti sari kekuasaan dan ekspresi stil kebyar itu sendiri. Lagu-lagu yang disambung setelah kebyar itu memakai motif kadang keras dan intens dengan pola ocak-ocakan reyong/ceng-ceng/kendang kadang manis, indah dan perayuan berharum gandrung. Dan sepanjang gending, pola-pola kendang tunggal mengambil peranan terpenting, sehingga yang mampu menyetir gambelan dari posisi kendang wadon boleh dikatakan jago. Saya sering kali mencoba, dan selalu kalah. Tapi perasaan jadi jago setidaknya saya mampu bayangkan sedikit.

10. Tabuh Topeng Dalem Arsawijaya (anonim)

Secara resmi Tabuh Arsawijaya sebenarnya tidak termasuk keluarga kebyar, akan tetapi perlu juga disebutkan disini karena nilai estetiknya. Dengan lagu pokoknya yang mengisi hanya 4 nada, yaitu dong, deng, dung, dan dang, Arsawijaya jelas berasal dari Gambelan Gong Gede klasik, dan pasti amat tua juga. Ini disebabkan (menurut tokoh kebyar Ketut Gde Asnawa) karena instrumen ponggang yang terdapat di Gong Gede juga hanya punya 4 nada, sama dengan yang disebutkan diatas. Tapi ini bukan sekedar Baleganjur! Ini musik yang canggih, tepat untuk karakter halus dengan susunan nada yang amat logik dan berbentuk panjang seperti tulang ular. Dihias dengan kotekan norot saja, pendengar mudah memperhatikan keindahan dan kemurnian lagu pokoknya.

Tabuh Kebyar Lelambatan

Modernisasi Tabuh Lelambatan Klasik mulai pada tahun enampuluhan di Desa Pindha, Gladag, Tampaksiring, dan beberapa desa lainnya juga. Versi kuno yang dimainkan waktu odalan menyasar “telinga” Tuhan, tapi versi-versi kebyar adalah untuk digemari manusia.

11. Tabuh Lelambatan Kembang Kuning (Pindha)

Sekaha Gong Pindha angkatan lama mempunyai banyak ciri khas istimewa—diantaranya adalah laras instrumen yang memiliki nada besar dan suara tajam, teknik pemain yang bukan main (termasuk pemukul reyong yang disebut diatas pada waktu membicarakan Guak Macok),serta tukang cengceng dan terompong yang lembut dan mendalam. Saya amat suka bagian tabuh telu dalam karya ini karena berisi berbagai macam angsel dan kotekan nyog-cag yang bengkok seperti tulang lindung. Tapi yang paling menyenangkan adalah perasaan dan keutuhan sekaha.

12. Tabuh Pisan Bangun Anyar (I Wayan Beratha; Festival Gong 1978)

Lagu pokok bagian pengawak Bangun Anyar berasal dari Desa Geladag, dan pernah dinotasikan dalam bukunya I Nyoman Rembang yang berjudul Gending-Gending Lelambatan Klasik Pegongan Daerah Bali. Pak Beratha mampu merubahnya hingga berbentuk kebyar dan menang juara satu pada Festival Gong tahun 1978. Gending ini juga dipakai tabuh petegak oleh Gamelan Sekar Jaya pada tournya ke Bali dari California pada tahun 1985 yang merupakan pertama kalinya grup asing pentas di PKB. Sebagai anggota dan juru kendang pada waktu itu, saya bersyukur untuk kesempatan dapat mengenal lebih mendalam tabuh klasik ini. Tabuh ini sudah lama menyatu dengan jiwa saya.

Sebagai komentar tambahan, perlu saya sebutkan karya lelambatan Pak Beratha lagi satu, yaitu Mina Ing Segara (Desa Angantaka, Festival 1982), dimana pada pembukaan pengecet yang amat sederhana dan indah, Pak Beratha memperkenalkan kembali motif kendang Jagul, dimana sebelumnya motif tersebut tidak populer tapi sejak saat itu sering dipakai lagi.

13. Tabuh Pat Lokarya (Wayan Sinti, 1993) dan Tabuh Pat Wari Drawa (Ketut Gde Asnawa tahun 1995)

Teman lama/guru/anak buah/timpal megupek saya, Wayan Sudirana dari Taman Ubud sering bilang: “hanya ada dua kreasi lelambatan yang saya senangi : Lokarya dan Wari Drawa”. Saya rasa itu sebabnya materi dari kedua gending ini adalah amat terpelajar, dan lain dari pada yang lain tanpa mengorbankan esensi klasik. Dan saya setuju seratus persen. Lagipula, tidak pernah cukup kita menghargai kedua komponis ini. Beliau-beliau ini tidak sekedar main-main dalam membuat tabuh—mereka hanya menuangkan musik kalau merasa penuh inspirasi dan terdorong oleh keinginan mengucapkan sesuatu yang penting dan bermutu.

Dalam Lokarya misalnya, si komponis mengutip stil Gambang pada akhir pengecet dan menaruh macam-macam angsel yang tak terduga dalam pengawaknya. Sedangkan berbagai pukulan kendang inovatif terdapat pada Wari Drawa yang suasananya galak dan berwibawa. Judul Lokarya merupakan singkatan nama-nama pemusik yang dikagumi si komponis dan patut dikagumi kita semua : “Lo” diambil dari Wayan Lotring, “Ka” dari Nyoman Kaler, dan “Rya” dari Gusti Putu Made Griya—ketiganya adalah mahaguru dan mahacipta dibidang seni gambelan. Maka tiap kali kita mendengar Lokarya kita menghadap kepada sejarah dan ingat pada sesepuh kita dengan warisan yang mereka tinggalkan.

Vokal

14. Gegitaan Wilet Mayura (Wayan Sinti/Nyoman Rembang, Angantaka 1982)

Pada pertama kali saya mendengar karya ini di Balai Banjar Angantaka pada bulan Maret 1982, saya langsung jatuh cinta.  Isi materi dari komposisi ini mencerminkan bukan hanya bakat para komponis dalam mengatur nada-nada, ombak kekerasan dan sebagainya, tapi juga pengetahuannya tentang segala macam musik Bali dan kemampuan untuk memadukannya sehingga jahitan diantaranya seolah-olah tersembunyi. Disini terdapat nyanyian Kidung dan unsur-unsur Gambelan Gambuh, Pelegongan, Semar Pegulingan, Gandrung, Gender Wayang, Gambang, Luang, dan memang kebyar itu sendiri. Katakanlah Wilet Mayura adalah ensiklopedi gambelan.

Pemakaian Kidung yaitu dengan nyanyian tunggal diiringi kor kecil—mirip dengan peranan sindhen dan gerong di Jawa. Ini sangat cocok untuk gambelan Bali karena nyanyian tunggal tidak terganggu oleh ombak laras gambelan ngumbang-ngisep. Teks yang dipilih untuk bagian pengawakWilet Mayura—mengekspresikan perasaan dalam.  Sebaliknya, teks pengecet—merupakan ucapan kepentingan gotong royong dan pembangunan negeri—dari pandangan 2017, terlalu berbau Suharto dan Orde Baru. Tapi kita tidak boleh terlalu menyalahkan para komponis, karena mereka mungkin terkurung oleh ideologi zaman waktu itu.

Masih banyak seniman yang komposisinya penting dan bermutu tinggi tetapi tidak disebut karena mereka berkarya di luar kandungan kebyar sendiri, misalnya dengan gambelan lainnya seperti Semaradana, Semar Pegulingan atau media-media baru seperti sering dilihat khususnya sejak kelahiran masa “eksperimen” dalam musik Bali. Ini terjadi oleh sebab banyak faktor dalam kemasyarakatan, politik, maupun dalam musik itu sendiri yang penulis menyaksikan tapi tidak punya ruang untuk menguraikan kali ini. 

Hal yang lebih besar dan kosong lagi adalah lobang dalam pengalaman dan pengetahuan penulis. Titiang anak lacur, tidak mungkin tahu yang semestinya saya tahu, dan saya perlu belajar banyak seumur hidup. Saya tertarik sekali mendengar pendapat para pembaca, baik maupun buruk; silahkan kontak michael.tenzer@ubc.ca kalau ada respon atau komentar. Salam hangat dari Vancouver…dan kebyar jaya!

Michael Tenzer

*Feature foto gong kebyar di Pengosekan tahun 1971 oleh Hans Hofer

**Semua rekaman seleksi gong kebyar Michael Tenzer oleh Bali Record, selain Kebyar Ding, oleh Aneka Records.

Dengarkan karya-karya Michael Tenzer untuk gong kebyar:

Situ Banda and Banyuari are featured on the New World Records release American Works for Balinese Gamelan, which can be purchased here:

Sinar Jegog appears on the Traditional Crossroads release World Tour: Classical Composers Explore World Music, which can be purchased here:

Kalau mencari rekaman seleksi gong kebyar Michael Tenzer coba cari di Bali Record. Mereka punya koleksi kaset, CD, dan VCD yang luar biasa. Semua rekaman di atas oleh Bali Record. Tolong mensuport mereka.

About the author(s)

© Insitu Recordings 2018