Insitu Recordings

From Issue 3

Feature: Sejarah Singkat Bali Record

I Komang Pasek Wijaya

Anak Agung Gde Puja (Pak Agung)
I Wayan Wijana
Dalam wawancara dengan Insitu Recordings (9/2018), Anak Agung Gde Puja (dipanggil Pak Agung) dan I Wayan Wijana menyampaikan sejarah singkat mengenai perkembangan Bali Record, salah satu perusahaan rekaman musik yang berpengaruh di Bali. Pak Agung mulai bekerja di Bali Record sekitar tahun 1977 ketika Ia berumur 15 tahun. Pada saat itu, Pak Agung langsung mulai bekerja sebagai operator dan teknisi rekaman. Bali Record berdiri sekitar tahun 1970. Pada awalnya rekaman asli dibuat oleh Pak Riki seorang yang biasanya merekam kesenian-kesenian Bali sebagaimana kidung dan gong kebyar. Dengan perkembangan zaman, Bali Record juga memasuki dunia rekaman tarik suara seperti lagu pop Bali dan keroncong. Selain membuat rekaman asli, Bali Record — sebelum undang-undang hak cipta berlaku di Indonesia — sempat menyalin dan menjual rekaman disco yang popular pada tahun 1970-an. Rekaman-rekaman yang dibuat di Jakarta diijinkan dijual di Bali dengan keterbatasan untuk memperbanyak rekaman di sana. Hal ini memungkinkan Bali Record mempercepat perkembangan operasinya hingga mempunyai cetakan sekitar 500 biji rekaman. Keterbatasan alat rekam di Bali mengharuskan rekaman komersial dibuat di Surabaya supaya memungkinkan kualitas yang maksimal. Terdapat beberapa rekaman pop Bali yang menjadi popular yang direkam dalam cara tersebut, seperti “Pulung-Pulung Ubi,”  “Kusi Dokar,” dan “Bungan Sandat,” karya (alm) A.A. Made Cakra masih laku dari pertama kali dirilis sampai sekarang.

Tidak lama kemudian Bali Record mulai bekerja sama dengan Radio Republik Indonesia (RRI) untuk membuat dan menyiarkan rekaman lagu pop, serta rekaman kesenian tradisional Bali seperti arja, wayang dan topeng. Bali Record mulai memburu segala macam pementasan yang menarik — kuno dan popular. Secara umum, Bali Record menyerahkan penilaian kepada masyarakat. Prinsipnya proyek mana yang laris di pasaran itu yang akan dicetak lebih banyak.

Karena kenaikan popularitas festival-festival gamelan yang mulai tahun 1978, Bali Record memfokuskan diri untuk merekam materi-materi festival gong kebyar dari seluruh kabupaten Bali setiap tahunnya. Hal ini membedakan Bali Record dengan perusahaan rekam lain di Bali, yaitu Aneka Record yang cenderung merekam gamelan dengan lagu pop, dan Maharani Record yang cenderung merekam musik intrumental.

Tabuh Kreasi Pepanggulan “Bangun Anyar” – Kabupaten Badung (1978)

Menyadari kepentingan merekam festival gong kebyar, pada 1979 Bali Record mulai membeli alat rekam yang sesuai dengan perkembangan teknologi supaya hasil rekaman lebih memuaskan. Untuk proses rekaman gamelan, Pak Riki mencari tempat terbuka di lokasi festival diselenggarakan. Menurut Pak Agung, dalam proses rekaman zaman dulu belum ada proses mixing. Jadi ketika ada kesalahan di tengah-tengah proses, rekaman harus diulang dari awal. Untuk memutuskan kualitas rekaman yang bagus dan tidak, itu diputuskan oleh Pak Riki.

Untuk merekam pementasan gong kebyar pada zaman itu, Pak Riki menggunakan delapan microphone yang sejenis SM 57/58, Sony, dan Postex. Pak Riki satu per satu mencoba tempat yang pas untuk menaruh setiap microphone. Proses tersebut memerlukan hanya setengah jam untuk mengatur dan mengecek alat rekam.

Setingan microphone untuk satu barung gamelan gong kebyar biasanya merupakan satu microphone untuk delapan suling, satu untuk terompong, satu untuk empat gangsa, satu untuk empat kantilan, satu untuk sepasang jegog, satu untuk sepasang calung/jublag, satu untuk gong dan kempur, dan satu untuk sepasang kendang lanang dan wadon. Sekitar tahun 2000-an Bali Record merubah sistem rekaman ke sistem digital yang menggunakan mixer dan DAD. Tetapi kalau rekaman yang berada di lapangan, tetap menggunakan proses yang disebut di atas.

Dengan alasan untuk berusaha memproduksi rekaman gong kebyar dan lagu pop, Bali Record mengalami puncak popularitas setelah tahun 1990 sampai sekitar tahun 2005. Popularitas itu bersamaan dengan mulainya Bali Record merekam video (di samping audio). Selama periode itu Bali Record pernah memproduksi rekaman gong kebyar hingga 3000 cetakan sesuai dengan pementasan yang popular pada saat itu, seperti dari kabupaten Gianyar, Badung, dan Denpasar.

Mulai tahun 2012, Bali Record mengalami penurunan penghasilan sebab masyarakat lebih  berminat terhadap rekaman melalui sosial media. Pada tahun 2014, Bali Record merekam pementasan gong kebyar duta kabupaten Gianyar yang terakhir kalinya. Hingga sekarang tidak ada usaha yang serius merekam karya-karya gong kebyar yang digelarkan di Pesta Kesenian Bali (PKB) setiap tahun. Menurut Pak Agung, kalau “tidak ada untung, pasti rugi.” Artinya, apabila masyarakat bisa membawa alat rekam sendiri ke lokasi pementasan dan akan dipuaskan oleh kualitas yang sederhana, tidak ada untung mengeluarkan dana, waktu, dan upaya untuk menghasilkan rekaman kualitas tinggi. Selanjutnya rekaman HP bisa langsung disebarluaskan ke masyarakat melalui pengaruh internet. Pak Riki tidak ingin mengikuti, jadi Bali Record tersaingi oleh perkembangan teknologi informasi.

Walaupun sejak tahun 2012 sudah mulai tenggelam terhadap perkembangan zaman, Bali Record merupakan usaha penting dalam dunia rekaman di Bali. Apabila Bali Record tidak pernah ada, pastinya masyarakat apalagi generasi muda akan kesulitan mencari kualitas bagus untuk rekaman-rekaman zaman dahulu atau dokumen rekaman.

I Komang Pasek Wijaya

Silahkan dilihat katalog sampul kaset yang kami dokumentasikan bersamaan dengan wawancara ini:

I Komang Pasek Wijaya (Pasex)

Pasex was born June 19th 1996 in the the village of Timuhum, Kab. Klungkung. At the age of 12 he developed an interest in gamelan and this eventually brought him to the high school of performing arts SMK 3 Sukawati (KOKAR) and ISI Denpasar.
Br. Kaleran, Desa Timuhum, Kec. Banjarankan, Kab. Klungkung, Bali, Indonesia

© Insitu Recordings 2018