Insitu Recordings

From Issue 1

Cerita Kehidupan: Wawancara bersama I Made Arnawa

Insitu Recordings

I Made Arnawa

Kami mewewancarai I Made Arnawa tentang kisah hidupnya dari awal mengenal gamelan. Berikut ceritanya:

Insitu Recordings: Bapak bisa ceritakan tentang sejarah kehidupan sendiri? Bagaimana Bapak menjadi musisi?

I Made Arnawa: Saya mulai tahu gamelan ketika masih di SD, sekitar umur tujuh tahun. Waktu itu grup tetua kami sering latihan di dekat rumah, di sebelah utara. Dulu kan belum ada istilah wantilan atau balai banjar, itu latihan di rumah. Sering saya mendengar lewat tembok, sambil tidur. Akhirnya ketika datang ke tempat latihan, saya secara langsung bisa mainkan apa yang dipelajari oleh sekaha itu. Saya bisa menangkapnya. Anak-anak kecil kan biasanya kalau gamelan sudah di-setting, main-main saja sebelum latihan grup dewasa dimulai. Tapi saya mainkan apa yang dicari grup utama. Kaget orang tua itu! “Kok bisa dia main, dia nggak pernah latihan!” Artinya pada umur tujuh tahun sudah mencari gending Sekar Gendot-nya dulu. Saya bisa dengan mendengar saja. Itu istilahnya meguru kuping. Dan demikian pas pada umur sembilan tahun saya sudah dimasukkan ke dalam sekaha tetua kami.

IR: Sembilan tahun!

A: Ya, pada umur sembilan tahun saya sudah diikutkan main dengan grup itu. Saya main terompong untuk pesiapan gong mebarung.

IR: Gending apa yang dimainkan? Lelambatan?

A: Waktu itu saya memainkan lelambatan Semarandana. Grup disini itu kan mebarung dengan gamelan dari Sudimara, Tabanan. Habis main terompong, langsung saya main ugal.

IR: Supaya jelas, siapa saja yang menjadi penabuh waktu itu?

A: Orang tua semua! Bapak saya, sudah tua-tua itu. Saya saja yang kecil, makanya waktu itu orang-orang heran. “Kok orang kecil yang main ugal?” Saya hampir nggak kelihatan dari depan instrumen. Hanya ini yang kelihatan (Pak Arnawa menaikan tangan dan bergaya seperti main ugal). Waktu main terompong tempat duduknya diperpanjang karena tangan saya tidak bisa melebar sampai ke ujungnya.

IR: Bapak belajar repertoar apa dengan grup itu?

A: Waktu main ugal, lagu-lagu kebyar yang kami mainkan seperti, Teruna Jaya, Oleg, Kebyar Duduk dan Tari Tenun. Guru-guru besar juga mengajar di sini dulu. Pak Sinti, Pak Beratha, dan banyak lagi, termasuk Pak Windha pernah ke sini. Beliau memberikan gending sendratari Jayaprana.

IR: Grup itu pernah pentas di mana saja?

A: Pertama di Sudimara itu. Kemudian, lagi mebarung di Sumampan. Kemudian, di Binoh dengan grupnya Pak Sinti. Melawan guru waktu itu! (ketawa) Setelah itu sekaha gong sering ke hotel. Hotel pertama adalah di Bali Beach, di Sanur.

IR: Di Sanur? Jauh sekali, bawa gamelan ke sana?

A: Ya! Pentas setiap bulan sekali. Pengalaman bagus itu, untuk belajar.

IR: Dan setelah itu Bapak belajar di sekolah juga? Bapak sekolah di KOKAR dulu?

A: Setelah tamat SMP saya disuruh sekolah di KOKAR sama orang tua. Tapi saya tidak mau.

IR: Kenapa?

A: Karena saya takut cepat bosan. Saya sudah bisa main gamelan waktu itu, tidak usah sekolah di KOKAR lagi. Saya ingin belajar sesuatu yang saya tidak pernah pelajari sebelumnya. Akhirnya saya pilih sekolah pertanian di Saraswati Denpasar. Saya masuk SMA di sana, tapi gongnya kan terus ke Bali Beach Hotel. Saya terus ikut.

IR: Bapak memang bisa bertani?

A: Saya memang seorang petani. Makanya saya menanam semua ini (menunjuk ke kebun di depan rumah). Mengerti sekali persoalan pertanian. Setelah tamat SMA di sana, saya dapat kerja di Bangli. Saya tinggal di sana.

IR: Berapa tahun kerja di sana?

A: Bukan tahunan. Saya cuma bisa bertahan tiga bulan di sana! (semua ketawa) Lokasi itu sangat jauh. Saya ditaruh di Kintamani. Tinggal di Bangli tapi lokasi kerja di Kintamani. Berdua saja di sana. Dingin sekali dan jauh dari rumah. Saya berhenti kerja di sana karena saya dapat tawaran kerja di sini (Tabanan). Saya disuruh mengajar pertanian di SMA Saraswati Tabanan. Itu dari tahun 1980 sampai tahun 1984 saya kerja itu.

IR: Terus, bagaimana cerita Bapak kembali ke gamelan?

A: Ah ya. Waktu kerja di Tabanan itu, saya dapat mendengar rekaman dari ASTI. Itu rekaman lagu Adi Merdangga. Lagunya sangat aneh bagi saya dulu. Sangat tertarik.

IR: Itu karya baru waktu itu?

A: Ya, memang baru. Isinya ratusan kendang dengan 250-an pemain. Saya tertarik oleh itu. Kok suaranya begini? Setelah mendengar rekaman itu saya berhenti kerja dan masuk kuliah di ASTI. Itu tahun 1984. Di sana saya ketemu dengan guru-guru yang sudah saya kenal, yaitu Pak Windha, Pak Catra, dan beberapa guru lainya. Mereka tanya, “Kenapa kamu di sini?” Mungkin kaget melihat saya. Ya, saya belajar di sana sampai tahun 1989.

IR: Bapak membuat karya ujian waktu itu? Buat apa saja?

A: Ujian-ujian masih dibatasi waktu itu. Semua disuruh membuat fragmentari. Tidak boleh buat yang lain-lain.

IR: Membuat bersama penari?

A: Ya, saya dipasangkan dengan Ketut Suteja yang dari Tanjung Bungkak dan juga dengan Anak Agung Mayun Artati. Oleh karena karya itu, kami ketiganya diangkat. Karena kita dapat lulusan terbaik, itu istilahnya. Kami diangkat di ASTI, jadi saya mulai mengajar di sana tahun 1990.

IR: Bapak mengajar apa saja di ASTI?

A: Saya pertama mengajar praktek karawitan. Kemudian mengajar komposisi, analisa, estetika, dan setelah itu etnomusikologi. Kemudian pada tahun 2000 saya mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi di Jawa. Waktu itu saya memilih belajar di ISI Surakarta. Program S2 baru dibuka tahun itu, saya menjadi angkatan pertama. Dari semua orang Bali yang dapat kesempatan itu, saya sendiri yang memilih Solo. Teman-teman lain, semuanya ke Jogja. Katanya ISI Solo lebih terbuka, dan saya dapat beasiswa di sana. Tidak jadi saya bayar sendiri.

IR: Dan bagaimana pengalaman belajar di Solo?

A: Di sana saya ketemulah dengan Pak Suka Hardjana, Slamet Abdul Syukur, Dieter Mack dari Jerman, dan lain-lainnya. Di sana juga saya banyak diberikan ilmu komposisi. Saya dibikin gila oleh beliau-beliau itu! Dan baru saya dapat melihat Bali dari luar. Saya ditertawakan waktu itu. Saya tunjukkan perkembangan gamelan Bali saat itu. Dibilang biasa saja! Padahal saya anggap itu sudah berkembang. Saya bingung waktu itu. Saya mencoba melepaskan diri dari kebiasaan saya sebelumnya dengan membuat karya kecil-kecilan dulu. Akhirnya saya berhasil lepaskan diri dari sistem tradisional saya, seperti pengawit, pengawak, dan lain-lainnya itu. Baru saya berkembang, dari sana saya mulai.

IR: Berapa tahun tinggal di Solo? Membuat karya akhir di sana juga?

A: Selama satu setengah tahun saya belajar di Solo. Lagi eman bulannya saya di sini, menyiapkan ujian akhir. tahun 2002 itu. Saya membuat lima komposisi waktu itu, disebutkan sesuai urutan. Komposisi Satu, Komposisi Dua, dan seterusnya. Karya itu saya gunakan gong kebyar, bebonangan, angklung, dan beberapa gabungan dari gamelan-gamelan tersebut. Dalam gabungan itu, misalnya komposisi yang menggabungkan gong kebyar dan angklung, gamelan masing-masing tidak main bergiliran seperti di karya-karya orang lain sebelumnya. Semua main bersamaan dan itu inspirasi awalnya untuk Gamelan Pendro saya.

IR: Tunggu dulu, bagaimana konsep besar yang melandasi semua komposisi ujian akhir itu?

A: Kumpulan komposisi-komposisi itu yang merupakan karya tugas akhir saya, disebut dengan judul Wak Bajra. Konsepnya terinspirasi oleh demonstrasi-demonstrasi yang terjadi pada waktu jatuhnya rezim Suharto pada tahun 1998. Situasi kacau, mencekam, dan banyak kerusuhan, saya coba transformasikan menjadi lima karya yang saya sebutkan sebelumnya.

IR: Bapak bisa jelaskan Gamelan Pendro?

A: Pendro itu gamelan yang mengkombinasikan laras Pelog dan Slendro. Dalam hal itu saya membuat karya yang menggabungkan laras dari gamelan angklung dan selonding. Sebelum itu saya pernah melihat karya yang orangnya menggabungkan beberapa jenis gamelan ke dalam satu komposisi. Tapi di karya-karya itu permainan setiap gamelan tetap persis dengan permainan aslinya. Hasilnya tidak menarik karena semua gamelan saling berdampingan tapi tidak berinteraksi. Menurut saya kalau gamelan beda jenis akan digabungkan, pengkaryanya harus menganggap gabungan itu secara keseluruhan. Seolah-olah menggunakan media yang sama sekali baru. Sebenarnya kalau media-nya baru, permainannya harus dibuat baru juga. Akhirnya saya membuat Gamelan Pendro. Itu saya pernah pentaskan di Berlin untuk acara Gamelan Indonesia Kontemporer pada tahun 2005. Pernah dipentaskan di Pesta Kesenian Bali juga. Itu gagasan yang dihasilkan pengalaman saya belajar di Solo. Pengalaman saya di Solo sangat penting karena saya baru lihat Bali dari luar. Dan saya menerapkan wawasan baru saya waktu kembali ke Denpasar.

IR: Setelah tamat di Solo, Pak Arnawa kembali mengajar di ASTI Denpasar?

A: Ya, tahun 2003 saya kembali mengajar di Denpasar. Tapi sudah berubah menjadi STSI waktu itu. Saya menjadi ketua jurusan karawitan tahun itu. Pada hal saya sangat tidak mau. Tapi ada pemilihan. Dari 38 dosen, 35 memilih saya, aduh! Saya menerima pilihan itu dengan syarat saya hanya duduk satu tahun di posisi itu. Saya menerima, dan waktu menjadi ketua jurusan saya ingin membuka wawasan mahasiswa di sana.

IR: Seperti yang Bapak alami di Solo?

A: Ya, saya menerapkan ilmu yang saya dapat di Solo. Waktu itu, tahun 2004, semua mahasiswa karawitan memilih kontemporer untuk ujian akhir mereka. Saya sama sekali tidak menyuruh! Mungkin setelah mereka memahami apa yang saya berikan, mereka sama sekali tidak mau berpasangan dengan tari. Seratus persen memilih kontemporer. Semua dosen kaget. (ketawa) Tapi saya mempertahankan pilihan mereka. Itu pilihan mahasiswa! Untuk apa kita memaksa? Biarkan mereka berkembang sesuai keinginan mereka. Dari sanalah mungkin muncul semacam ketakutan pada dosen-doesn lain.

IR: Itu menjadi masalah untuk Bapak sendiri?

A: Tidak! Dosen-dosen lain takut. Tapi saya ketawa saja waktu itu. Ada mahasiswa bawa sampah ke panggung sebagai alat media. Lucu sekali, saya senang saja melihat kreativitas orang muda. Tapi yang lain-lain tidak begitu senang. Bagaimana jadinya kalau begini? Begitu mereka.

IR: Kapan Bapak selesai sebagai ketua jurusan?

A: Ya, akhirnya pas satu tahun lagi, ada panggilan dari Gamelan Sekar Jaya di California. Saya diundang mengajar di sana selama enam bulan pada tahun 2006. Jadi saya mengundurkan diri dari posisi ketua jurusan. Waktu itu Pak Dibia sebagai rektor, dan saya diijinkan ke Sekar Jaya. Setelah itu, balik lagi untuk mengajar di ISI. Terus tahun 2009 saya diundang ke Sekar Jaya lagi. Tapi pada saat itu ISI suasananya sudah tidak bagus. Ada masalah administrasi dengan pemilihan rektor baru. Saya minta ijin ke Sekar Jaya kepada kantor rektorat. Tapi tidak pernah direspon, diberi ijin atau tidak. Akhirnya, saya pribadi mengajukan permohon resmi lagi, sampai pegawai bertanya “kenapa Bapak buat surat lagi seperti ini, kan sudah resmi dari Amerika?” Ya, supaya ada lah. Tidak enak saya tanpa permohonan. Tapi sama sekali tidak pernah direspon. Dan waktunya untuk berangkat semakin dekat. Urusan visa sudah lolos sama Gamelan Sekar Jaya karena hubung GSJ dengan ISI sangat baik waktu itu. Itu karena Prof Bandem, Prof Dibia dan lain-lainnya. Jadi saya merasa aman. Kampus lagi kacau waktu itu, dan saya berangkat saja.

IR: Apakah itu menjadi masalah?

A: Ya, “Berangkat tanpa ijin,” itu katanya. Tapi selama satu bulan tidak pernah ada keputusan. Bagaimana saya diijinkan atau tidak? Saya putuskan untuk ambil sikap…saya berangkat saja, apapun risikonya. Saya ambil konsekuensi. Istri saya juga suruh begitu. Baru satu bulan disana, ada surat datang. Saya disuruh pulang. Tapi ah, bagaimana ini? Saya di California sudah sibuk dengan kegiatan. Kasihan tinggalkan mereka. Akhirnya saya tidak pulang. Saya selesaikan pekerjaan di Sekar Jaya, dan baru pulang ke Bali. Sampai rumah ada surat datang, itu pemberitahuan bahwa saya diberhentikan dari posisi saya di ISI.

IR: Wow! Mengapa begitu? Bapak pernah coba melawan keputusan itu?

A: Saya datang ke kampus untuk berbicara dengan orang di rektorat, tapi karena surat pemberitahuan itu lewat kepala biro administrasi umum bukan kantor rektor, saya disuruh berbicara dengan pegawai di administrasi. Pegawai bilang, akhirnya saya tidak diijinkan ke luar negeri. Tapi surat itu katanya datang dari Jakarta dan sudah terbuka, membuat saya tidak percaya kebenaran surat tersebut. Saya kecewa dan sempat tidak mau menandatanginya, atau saya akan menandatanginya tapi dengan syarat suratnya diganti dengan “Pak Arnawa diberhentikan secara tidak hormat,” tapi akhirnya saya menerima keputusan untuk selesai di ISI. Lebih baik mengalah supaya tenang. Tapi sampai saat ini belum ada pengumuman tentang pemberhentian saya di ISI.

IR: Berarti Bapak tidak ada hubungan lagi dengan ISI? Tahun berapa selesai di sana?

A: Tahun 2009 saya selesai. Ya, lebih baik saya independent sekarang. Tidak ada kaitan dengan institusi apapun. Teman-teman saya di ISI masih baik. Masih sering berkomunikasi. Kita sering sharing lah. Semua masih baik dengan saya. Mereka heran dan mendukung saya waktu itu. “Kamu kan tidak berbuat kriminal, kenapa diberhentikan?” Ya, begitulah cerita itu. Tapi saya tidak kecewa lagi.

IR: Bagus. Terus, apa kegiatan Bapak sejak selesai mengajar?

A: Masih aktif saya. Setelah selesai di sana, pada tahun 2010 saya diundang oleh Steve Reich untuk ke Austria. Di sana ada Festival Salzburg Binnale. Saya diundang oleh beliau padahal tidak pernah bertemu. Saya hanya tahu fotonya, langsung bertemu di sana. Oh, ini beliau! (ketawa)

IR: Bapak pentaskan apa saja di Austria?

A: Saya bawa grup saya dari sini. Kita memakai gong kebyarnya Dieter Mack. Saya bawa gending Perbawa, gending Mayatupatus, beberapa tarian dan lagu-lagu dari sini. Kita ceritakan Tabanan pada waktu itu. Kemudian tahun 2011 Wayne Vitale mengundang grup saya untuk pentas di Asian Art Museum di San Francisco. Setelah itu saya diundang oleh Kementerian Pariwisata di Jakarta untuk isi acara Art Summit. Saya bawa Gamelan Selonding dan Pendro ke sana, tahun 2011.

IR: Kami dengar Bapak juga membuat karya yang terinspirasi musiknya Stravinsky dan beberapa komposer barat lainya, bisa jelaskan tentang itu?

A: Oh ya! Tahun 2012 saya mengaransemen karya Igor Stravinsky ke dalam gamelan. Tapi sebelum itu saya sudah membuat In Deng yang terinspirasi oleh karya Terry Riley In C. Kedua karya ini direkam di Pura Dalem Munduk oleh Giovanni Sciarino.

IR: Pertanyaan terakhir, apa rencana yang akan Bapak lakukan pada tahun ini?

A: Kemarin saya diundang untuk persiapan Festival Gamelan tahun 2018 yang akan diselenggarakan di Jerman. Disuruh membuat satu karya untuk gong kebyar dan satu karya untuk Carillon Bells, bagaimana nanti idenya itu, untuk mementaskan gong kebyar di bawah dan di atas belnya, apakah bisa nantinya. Berat itu!

IR: Menarik sekali itu!

Insitu Recordings

Check out Arnawa’s music on Yantra Productions:

Check out Arnawa’s music on YouTube:

About the author(s)

Zachary Hejny

Zachary Hejny is a California-born composer and performer of experimental music currently based in Indonesia. His artwork explores polytemporality, incidental tuning systems, ecological sound structures, and philosophies of noise. Current projects include the design of an electro-acoustic percussion instrument using found materials, an environmental sound map, an album of etudes for drum set and synthesizer, a metronome practice aid for Balinese kendang tunggal and various music for visual media. He received a DMA in composition from UC Santa Cruz in 2021 and recently completed a Fulbright research grant focusing on relationships between traditional music practices in Lombok, Bali, and East Java.
Zachary participates in various contemporary music scenes on Bali, primarily as an avid student of gender wayang, gamelan composer, and performing sound artist. Previous involvement with Balinese music involves a Darmasiswa cultural immersion scholarship (2012), a master’s degree from ISI Denpasar (2015), numerous festival commissions (including the Bali Arts Festival in 2017), and a Fulbright research grant (2023). He also volunteers as an Assistant Director and board member for Insitu Recordings, where he helps edit a digital magazine, maintain an archive of historical gamelan recordings, and document and promote creative work by emerging Balinese composers.
As an educator, Zachary has taught electronic music and gamelan at UC Santa Cruz, given numerous invited lectures and seminar presentations throughout Bali, and occasionally mentored younger composers in electronic music techniques.
Aside from music, he is an avid reader, language learner, chess addict, and anti-imperialist.
Tabanan, Bali, Indonesia

Jonathan Adams

Jonathan Adams is an ethnomusicologist, electronic musician, and visual artist with broad interest in Balinese music. His experience includes formal study of longstanding ritual and court musics, participation in performances of new and innovative works, as well as instrument building and tuning. To date, he has spent 5+ years living in Indonesia. This included a one-year stay (2007/2008) supported by the Indonesian Darmasiswa program; and a four-year stay (2013-2017) that involved research on seven-tone music associated with Javano-Balinese poetry, assisting the experiential education program at the School for International Training, and co-founding Insitu Recordings. He received a BA in Ethnomusicology and Comparative Religion from the University of Washington in 2007, where he also spearheaded the realization of an innovative 9-tone gamelan developed by I Wayan Sinti, called Siwa Nada. He holds a Ph.D. in Ethnomusicology from the University of British Columbia (2021) and is currently adjunct assistant professor at the University of Tennessee, Knoxville. His research has been supported by the American Institute for Indonesian Studies (Henry Luce Fellowship 2014), a Tina and Morris Wagner Foundation Fellowship (2014-2015), and an Elsie and Audrey Jang Scholarship in Cultural Diversity and Harmony (2017-2018).
Knoxville, Tennessee, United States
Image: Kawamura Koheisai (Kohey)

I Putu Gede Sukaryana (Balot)

I Putu Gede Sukaryana, better known as Balot, began taking gamelan seriously when he enrolled at the high school arts conservatory SMK 3 Sukawati at the age of 15. After graduation he enrolled in the karawitan program at Institut Seni Indonesia, Denpasar, where he engaged with talented and aspiring musicians from across Bali and realized a future dedicated to music was possible. By the time he completed his arts education on Bali he was already a highly sought after performer, and since graduation he has been invited to lead several high-caliber international collaborations, including reworks of Scarlatti’s keyboard music and Bach fugues for Yantra Productions (Italy), experiments with Lithuanian electronic musician and composer Paulius Kilbauskas, and collaborative compositions with American composer Wayne Vitale. His work is recognized internationally and celebrated for its originality and emphasis on process over product. In 2016 he co-founded the record label and arts collective Insitu Recordings with Jonathan Adams and is currently the project’s artistic director. In 2017 he accepted a visiting artist residency at the University of British Columbia, where he got his Master’s degree in Ethnomusicology.
Desa Beraban, Tabanan, Bali, Indonesia
Photo: Jonathan Adams

People and organizations mentioned in this article

I Made Arnawa (Arnawa)

I Made Arnawa initially did not intend to make gamelan his career choice. Started learning gamelan at the age of seven, but decided to continue his secondary school in agriculture and work as an agricultural extension worker. But at a turning point when hearing Adi Merdangga directed by ASTI Denpasar made his passion for gamelan re-emerge and continued his education at STSI until finally completing his formal education in the Karawitan department at STSI Denpasar and ISI Surakarta. Since then Arnawa has become a well-known gamelan composer and teacher and is often invited to teach and create works in various places in the world including Taiwan, Germany, the United States and others.
Desa Tunjuk, Kab. Tabanan, Bali, Indonesia

© Insitu Recordings 2018