From Issue 3

Local Spotlight: Kesenian Berko

Putu Nova Handiyana

Kabupaten Jembrana (bagian barat Pulau Bali) memiliki berbagai bentuk kesenian lokal yang lahir dan tumbuh melalui kehidupan agraris masyarakatnya. Salah satu daerahnya yang memiliki berbagai jenis kesenian agraris berada di lingkungan Pancardawa, Kelurahan Pendem. Selain bentuk-bentuk kesenian yang terkenal di seluruh kabupaten Jembrana – yakni Jegog, Bungbung Krepyak, Leko, dan tradisi Mekepung – di lingkungan Pancardawa terdapat juga kesenian langka dan unik yang disebut dengan kesenian Berko. Kesenian Berko merupakan sebuah pementasan berbentuk dramatari yang hanya diselenggarakan pada saat odalan di pura dan acara-acara tertentu di desa.

Menurut I Made Dibya, mantan ketua Sekaa Berko, kesenian Berko diprakasai oleh seorang petani bernama Pan Mider pada tahun 1925. Awalnya, ia terinspirasi menciptakan kesenian ini ketika berada di tengah sawah. Ia membuat satu buah gamelan berbentuk grantang yang terbuat dari bambu yang memiliki laras durma (yang mirip pelog saih pitu). Tujuannya untuk menghibur warga yang sedang bekerja di sawah. Alunan suara dari gamelan tersebut sangat merdu, maka warga secara bersama-sama memberikan ide-idenya untuk menciptakan suatu karya seni yang dapat digunakan dalam berbagai keperluan.

Potongan singkat video Reinkarnasi Berko dari Humas Kabupaten Jembrana (2011)

Dalam film dokumenter Reinkarnasi Berko (2011) dijelaskan bahwa kesenian Berko berjaya dari tahun 1925 hingga 1942. Pada zaman itu, pemerintah daerah Jembrana masih berbentuk kerajaan, dan kesenian Berko sering ditampilkan sebagai hiburan para raja atau untuk menyambut tamu kehormatan yang datang ke puri. Ketika zaman pendudukan Jepang mulai pada tahun 1942, keadaan ekonomi dan situasi keamanan di Kabupaten Jembrana menyebabkan kesenian Berko mulai jarang dipentaskan. Pada tahun 1998, bupati Jembrana, Ida Bagus Indugosa, berusaha untuk mengaktifkan kembali seniman-seniman tua yang mengikuti pementasan Berko. Seniman-seniman tersebut mengajak generasi muda untuk menampilkan lagi kesenian ini untuk acara-acara penyambutan tamu hingga ajang Pesta Kesenian Bali. Sejak upaya bupati Indugosa sampai sekarang, kesenian Berko tetap dilestarikan oleh masyarakat lingkungan Pancardawa dan digunakan saat odalan di Pura Kahyangan Tiga atau sebagai penyambutan acara-acara tertentu di kelurahannya.

Kesenian Berko Jembrana Bali
Dokumentar Reinkarnasi Berko (2011) diproduksi oleh HUMAS Kabupaten Jembrana

Istilah Berko pada dasarnya merupakan singkatan dari kata “bero-bero neko.” Dalam bahasa Indonesia kata “bero” berarti sumbang. Jadinya, kesenian ini dinamai Berko, karena irama permainan gamelannya sangat lincah bahkan asimetris.

Pada awalnya kesenian Berko yang diiringi oleh gamelan Berko hanya disajikan dalam bentuk tetabuhan saja. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya kemudian visualnya dilengkapi dengan tarian yang membawakan cerita epos Ramayana. Disela-sela melakukan gerakan tari, penari juga menembang Kekawin Rai Tiga. Nyanyian tersebut juga dibawakan oleh seorang juru tandak yang menggunakan bahasa Kawi. Dengan perkembangannya, Berko sekarang dapat dikatakan memiliki bentuk  dramatari.

Instrumen gamelan Berko ini meliputi satu pasang kendang, satu buah ceng-ceng kecek, satu buah tawa-tawa, dua buah suling, tiga buah grantang pemade, tiga buah grantang kantilan, satu buah undir dan satu buah kemong, serta satu buah gong pulu. Dalam satu grantangan terdapat 3 oktaf nada, kecuali nada terakhir yang hanya mempunyai 2 oktaf.

Keunikan dari gamelan Berko adalah dari segi laras-nya yang menggunakan laras durma. Laras durma ini mirip dengan laras pelog saih pitu.  Tetapi berdasarkan hasil wawancara dengan bapak I Nyoman Kayun, gamelan ini dikatakan ber-laras durma karena pada awal penciptaan gamelan ini mengambil laras yang berdasarkan tangga nada pada tembang dari Pupuh Durma.

Proses pementasan kesenian Berko dimulai dari atas panggung dimana terlebih dahulu seorang Pemangku nguningangan Banten Taksu untuk mendoakan supaya memperoleh keselamatan dan kelancaran pada pementasan yang akan dilaksanakan. Setelah itu, pementasan dimulai dengan menampilkan tabuh petegak (lagu pembuka) yakni dengan memainkan Tabuh Telu Kekendangan dan Tabuh Pengalus yang di dalamnya terdapat penyampaian prolog atau pengaksama oleh tukang juru tandank, dengan ucapan:

Om Awigenam Astu Nama Siwa Budaya… (disertai dengan tabuh kebyar). Puniki titiang sekaa Berko Lingkungan Pancardawa, jaga ngaturang sesolahan Kesenian Berko mungguing kirang langkung antuk titiang ngemargayang cerita makamiwah sesolahan tan lalititiang nunas gung rna sinampura, dumogi mangde ledang idadane para semeton titiang sareng sami ngaksamayang.

Potongan singkat video Reinkarnasi Berko dari Humas Kabupaten Jembrana (2011)

Selanjutnya, Tabuh Baris Gede mengiringi penari perempuan menggunakan busana laki-laki yang mencerminkan tokoh Rahwana, Raja Jagad Alengka Pura yang akan menculik Dewi Sita (istri Rama Dewa) di sebuah puri Ayodya untuk dijadikan permaisuri. Berikutnya muncullah dua orang penari yang mencerminkan Dewi Sita dan pengawalnya Truna Laksmana. Tabuh selanjutnya adalah Tabuh Kebyar Condong atau Kebyar Dam. Saat ini, penari masuk panggung diiringi dengan suara tandak dengan bunyi kalimat sebagai berikut.

Saksana…ana ya pua mangke wuwusa ikang kala tan ana aditya candra aksara, bayu akasa dika, pralaya riwakasning sang hara kalpa prapta muang surge kala, prapta nitya mijil sepekayunia nguni Ica Sang Hyang tinut nian, hana kateka sabda sangkara darma, Sang Hyang Sangkara atah harania. Hana lawan Bhatari Tri Nita Sira, ana mangguing kaila sasikara. Sad rasa utungasida pratista saksat mandala sabhuhana ika tang parhayangan stana Sang Hyang.

Ceritanan mangkin Sang Sugriwa, banget Ida kesedihan utawi kesemaran, raris mapikayun pacang ngerereh kanti kayun ida tan lian wantah Ida Sang Rama Dewa. Ngeraris ngandikain sang hanoman kautus jaga tangkil ring Ida Sang Rama Dewa.

 Riwus sangmangkana mangkin cartanan muah sang kapiwara sugriwa gelana tibra akingking, ana hyun ira mangesraya ri sireng rama tan len. Inutus te sireng Hanoman pinaka dutanira angamet sang Rama Dewa, tatan wikan sang kinonkon utawi Sang Hanoman lumaku ta sia ring giri resya muka kapangguh ta sirang ragusuta. Asusupan rikanang mangkin mangsa sa puana suta mawang mojar ling nira.

 Singgih pakulun perameswara, hulun inutus denirang kapi sugriwa ratuniang were hangaturi sri orameswara lunga maring giri resya muka, mangkana hatur Sang Hanoman, dadya arsa hyun Sang Rama Dewa inturan tatwa caritra hawan wus dating maring giri resya muka kepangguh ta sirang rama, sugriwa nahar humatur kapisugriwa ri sang ragu suta aminta pangesraya lamakana side pejah pun sang subali wetning kadustani manahnia pradara hina budi angemet diah tara mangkana atur sigriwa.

Penari Berko

Bersamaan tandak mengucapkan beberapa kalimat di atas, diikuti dengan kebyar dan sesendon, dengan bunyi kalimat: semproyogondo yan punggelin semingkin ngrembya. Pada saat itu penari melakukan gerakan tari yang disertai dengan ucapan kalimat tandak seperti di atas. Setelah itu penari langsung menempatkan diri dan bersimpuh, baru kemudian menembang atau mewirama. Wirama yang dibawakan adalah wirama Rai Tiga dari Kekawin Ramayana. Kalimat-kalimat dalam wirama itu menggunakan bahasa Kawi dan diartikan oleh seorang pengartos menggungakan bahasa Bali halus. Syair mewirama dapat diuraikan sebagai berikut.

 Nda ta tita sang prabu gumanti, tujarata sirang marutsuta sadara sira mara manglawada, parateng taman katemu dewi jenaki

 Inggih ceritayang titian Ida Sang Wibisana sane ngentosin kagungan Sang Rahwana. Ngiring ceritayang ne mangkin Ida Sang Hanoman, dahat palapan dane rawuh jaga manelokin, ngeranjing ring udyana, kepangguh Ida Dewa Sita

 Pranatar panembahati bakti, jaya-jaya namastu manggala dewi wijaya naranata muwus, pahawas hidepta tekaning sukekihen

 Ngendepang raga sarwi nyumbah saha kayun subakti, mapangajeng hatur jaya-jaya namstu

 Inggih Ratu Dewa Agung, molih Ida Dewa Agung sampun rauh, ledangan kayun iratu, karawuhang kayun ledang mangkin

Juru Tandak Berko

Selesai dengan penari mewirama Kekawin Rai Tiga, masuk tetabuhan yang diselingi dengan Pupuh Durma:

Yan anutang maring Rajapati Gundalane

Gagelaran Sang Nyakra werti

Rupane Pretyaksa

Wamsa Wruhing Sila Krama

Guna tatas ring pauning

Elah yan nitah

Sida sekancan ulati

Pupuh Durma dapat diartikan sebagai berikut.

Inggih, kocap sane menggah ring prasasti Raja Pati Gundalane

Sane patut kegamel tur kemargayang antuk sang ngamel jagat

Kaping siki sane kebawos: rupa, inggih punika Ida Sang Prabu mangda tatas ring kawentenang ipun I panjak

Kaping kalih wawsa: wamsa, teges ipun mangda Ida Sang Prabu tatas uning ring sila kramaning panjak

Kaping tiga: guna, inggih punika mangda Ida Sang Prabu tatas uning ring kaweruhan miwah gagunan ipun I panjak

Yan sampun indik punika (maka tiga punika kagelarang antuk Ida Sang Prabu), janton dangan antuk Ida nganterang jagat

Pastika sampun jagi sida ngulati saka luir tetujon wewangun maka sami

Pementasan Kesenian Berko

Selesai sajian tembang dan gegonjakan-nya (lelucon), setelah itu dilanjutkan dengan penari kedua. Penari masuk panggung dengan posisi jongkok diawali dengan tari kekebyaraan yang tabuhnya disebut dengan Tabuh Kebyar Dam. Penari lalu bergerak mearas-arasan dengan tetabuhan tiga kali silih berganti. Selesai gerakan pekaad penari keluar panggung. Pementasannya dilanjutkan dengan gegonjakan sejenak mengenai kembalinya Dewi Sita kepangkuan Rama Dewa. Untuk mensyukurinya diadakan perayaan dengan menyuguhkan tarian-tarian hiburan berupa tari jejogedan disertai dengan ibing-ibingan-nya yang silih berganti. Terakhir tabuh penutup untuk mengakhiri pementasan.

Potongan singkat video Reinkarnasi Berko dari Humas Kabupaten Jembrana (2011)

Kenyataan yang terjadi saat ini, kesenian Berko belum banyak dikenal dan diketahui oleh masyarakat umum di Bali. Kesenian Berko mengandung nilai pendidikan  religius yang sangat berguna bagi masyarakat. Untuk itu kesenian ini menarik untuk diteliti, karena kesenian Berko hanya terdapat di Lingkungan Pancardawa, Kabupaten Jembrana. Di samping itu kesenian Berko belum ada yang meneliti agar kesenian Berko ini menjadi lebih dikenal oleh masyarakat luas.

Putu Nova Handiyana

Putu Nova Handiyana (Nova)

Putu Nova Handiyana or Nova was born in Negara on November 12, 1996 and is the first child of I Ketut Arsada and Ni Luh Budi Astri. His interest in gamelan began at age 7 when he joined the children’s jegog group in his village. By middle school he had already begun to participate in events at the Bali Arts Festival. He did not expect to pursue a career in the arts, but as time went on, he continued to play and was eventually encouraged by his parents, teachers, and friends to enroll in the karawitan program at ISI Denpasar.
Lingkungan Pancardawa, Kel. Pendem, Kab. Jembrana, Bali, Indonesia

© Insitu Recordings 2018