From Issue 2

Kakawin LPD Bualu: Karya Sastra Jawa Kuno Abad XXI

Putu Ari Suprapta Pratama

Kakawin LPD Bualu (BAB 1, BAIT 3) oleh I Made Kuna

Jawa Kuno

Himpêr manduka ring batrāwi kaya wwang lot mrih madhewastawa,

Ndun duran n amupūrikning kumuda kirńa rī banywaning nadi,

Ekastira ya ring kulêm rahina nghing tan wruh ri mūlyanika,

Tan sameng ulahing madhukara ngisêp sari nikang puspa rum.

Bahasa Indonesia

Bagaikan seekor katak di tengah telaga, seperti orang yang mendambakan bertemu dengan Tuhan,

Tak akan mampu menikmati wangi bunga teratai yang berada di air,

Ia tetap tinggal di satu tempat, siang dan malam. Namun, tak mengetahui keutamaan bunga teratai

Berbeda dengan tingkah laku si kumbang yang menikmati wangi bunga teratai dengan menghisap sari bunga yang indah.

English

Like a frog in the middle of a lake, like someone who longs to meet God,

Not able to enjoy the fragrant lotus in the water,

He stayed in one place, day and night. Unaware of the importance of lotus flowers

In contrast to the behavior of the beetle who enjoys the scent of lotus flowers by sucking on their beautiful flower nectar.

Para kawi di Bali menciptakan kakawin, di samping mengikuti konvensi atau aturan yang telah ada, juga melakukan inovasi atau pembaharuan, terutama di bidang tematik. Kecuali tema-tema yang bersifat epik, kakawin-kakawin di Bali juga menggunakan tema-tema babad, misalnya Kakawin Mayadanawantaka, Kakawin Gajahmada, dan Kakawin Kebo Tarunantaka ataupun tema-tema yang diangkat berdasarkan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Bali atau di Indonesia, misalnya Kakawin Bali Sabhalango, Kakawin Bualu Drestalango, Kakawin Rajapatnimokta, dan lain-lain.

Menurut spesialis sastra I Nyoman Suarka,   karya-karya kakawin Bali lebih dipandang sebagai bentuk tanggapan dan transformasi terhadap kakawin-kakawin Jawa sebelumnya. Di satu sisi, penyair-penyair Bali menciptakan kakawin dengan menerapkan prinsip-prinsip kakawin Jawa Kuno yang telah berkembang di Jawa sebelumnya, dan di sisi lain penyair-penyair Bali mentransformasikannya ke dalam sistem kakawin “Jawa Kuno bergaya Bali”. Dengan kata lain, setelah menanggapi karya-karya kakawin pendahulunya dan menyerap konvensi, konsep estetik, pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, dan lain-lainnya yang terkandung di dalam kakawin tersebut, lalu penyair Bali mentransformasikan ke dalam karyanya sendiri dengan gagasan dan konsep estetik sendiri sehingga terjadilah perpaduan yang menghasilkan karya baru. Gejala ini diasumsikan terjadi pada kakawin berjudul Kakawin LPD Bualu yang dikarang oleh I Made Kuna dari Desa Bualu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung.

Kakawin LPD Bualu memiliki keunikan-keunikan, antara lain dari terletak pada judulnya. Judul LPD tidak terdapat dalam khazanah karya sastra Jawa Kuno sebelumnya, terutama kakawin. Kata LPD merupakan kependekan dari Lembaga Perkreditan Desa. LPD merupakan sebuah lembaga keuangan yang diciptakan oleh Ida Bagus Mantra sebagai Gubernur Bali pada periode 1978—1988. Oleh karena itu, kehadiran LPD di dalam karya sastra kakawin sangat unik. Digunakannya LPD sebagai judul kakawin oleh karena pengarang kakawin ini merupakan mantan pendiri LPD di Desa Bualu, Badung yang ingin merekam sejarah pendirian LPD di Desa Bualu melalui media kakawin.

Kakawin LPD Bualu tetap mengikuti konvensi kakawin pada periode Jawa Timur namun terjadi pergeseran tematik pada karya sastranya. Boleh jadi, pegeseran tematik dari epos ke tema-tema yang lebih modern dan masa kini dipengaruhi oleh perkembangan zaman. Di samping itu, upaya mendokumentasikan peristiwa sejarah ke dalam karya sastra juga perlu diperhatikan. Oleh karena paradigma karya sastra berkembang sebagaimana karya sastra sebagai dokumentasi sejarah dan peristiwa bersejarah sebagai inspirasi sebuah karya sastra.

Keunikan lainnya dari Kakawin LPD Bualu adalah bahasa yang digunakan di dalam karya sastra. Bahasa yang digunakan di dalam Kakawin LPD Bualu adalah Bahasa Jawa Kuno. Namun, kehadiran bahasa Bali dan bahasa Indonesia secara minor tetap muncul di dalam Kakawin LPD Bualu. Adopsi bahasa-bahasa di luar bahasa Jawa Kuno kemungkinan dipengaruhi oleh zaman diciptakannya karya tersebut. Kakawin LPD Bualu diciptakan pada tahun 2010. Pada saat itu, tentu bahasa Jawa Kuno tidak lagi intensif digunakan (dalam komunikasi maupun resitasi) seperti pada waktu kakawin mayor dan minor diciptakan atau ketika bahasa tersebut mengalami puncak kejayaan pada periode Jawa Timur. Oleh karena itu, kosa kata bahasa Bali dan Indonesia diadopsi ke dalam Kakawin LPD Bualu untuk mengakomodasi kosa kata baru yang tidak ditemukan padanannya di dalam bahasa Jawa Kuno.

Berdasarkan berbagai keunikan tersebut di atas, kehadiran Kakawin LPD Bualu sebagai sebuah karya sastra abad XXI sangat menarik untuk diteliti. Penelitian dari sudut pandang ragam bahasa, konvensi sastra, dan latar budaya layak digunakan untuk membedah karya sastra Kakawin LPD Bualu.

Ragam Bahasa Kakawin LPD Bualu

Bahasa Jawa Kuno adalah bahasa yang hidup dan berkembang pada periode abad IX sampai XIV Masehi. Sejak runtuhnya kerajaan Majapahit, bahasa Jawa Kuno tidak lagi digunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Oleh karena itu, bahasa Jawa Kuno sering disebut sebagai bahasa mati. Artinya, bahasa Jawa Kuno tidak lagi memiliki penutur aslinya.

Penggunaan bahasa Jawa Kuno di samping sebagai identitas karya sastra juga sebagai penambah daya estetis kakawin. Daya estetis tersebut muncul ketika karya sastra kakawin diresitasikan dan didiskusikan dalam bentuk mabebasan. Dalam tradisi Bali, mabebasan adalah cara yang paling tepat untuk mengungkap lang, berarti “keindahan” yang terkandung di dalam karya sastra. Tahapan mabebasan meliputi wirama, wiraga dan wirasa.

Penggunaan bahasa lain di luar bahasa Jawa Kuno (bahasa Bali dan bahasa Indonesia) sangat banyak ditemukan dalam karya sastra kakawin periode akhir abad XX sampai XXI Masehi. Karya tersebut antara lain, Kakawin Udayana Mahawidya, Kakawin Bualu Drestalango, Kakawin Bali Sabha Lango, dan Kakawin LPD Bualu. Penggunaan Bahasa Bali dan Indonesia dapat dilihat pada kutipan berikut.

sìnanggêh ghùbêrnur makà ratu nikang bhalìdwipà anglangu (KLB, I.5c) [Jawa Kuno]

Sebagai gubernur(?) dari pulau Bali yang indah. [Bahasa Indonesia]

Pada kutipan di atas, kata ghùbêrnur adalah salah satu kosa kata yang tidak termuat dalam bahasa Jawa Kuno. Artinya, secara leksikal ghùbêrnur tidak memiliki arti dalam bahasa Jawa Kuno. Namun, dari segi pengucapan, kata ghùbêrnur mirip dengan pengucapan kata gubernur dalam bahasa Indonesia. Boleh jadi, kata ghùbêrnur yang digunakan pada kutipan bait di atas adalah untuk merujuk kata gubernur dalam bahasa Indonesia. Apabila pendapat tersebut benar, maka penggunaan kata ghùbêrnur merupakan salah satu bentuk adopsi bahasa Indonesia dalam karya sastra kakawin yang penulisan dan pengucapannya disesuaikan sedemikian rupa mengikuti konvensi guru laghu di dalam kakawin.

Bentuk adopsi kosa kata bahasa Indonesia lainnya dalam Kakawin Bualu Sabha Lango dapat dilihat pada tabel berikut.

No.

Bahasa Jawa Kuno

Bahasa Indonesia

1.

Mahyun pwa sira sang nathà pica wantwan dhanà ri krameng bumi (KLB, I.8c)

Raja (gubernur?) berkeinginan memberikan bantuan dana kepada seluruh warga masyarakat.

2.

Ring jroning angitung punang usaha wnang hana wang aweruhing dumêr gawe. (KLB, II.1a)

Dalam menjalankan usaha, harus ada orang yang pandai bekerja.

3.

Inganyan ratusên kuwehning umilu inaka kawalung kabhùpaten. (KLB II.2a)

 

Ratusan orang berpartisipasi, berasal dari delapan kabupaten.

4.

Ing hotel Bali Mulya ring ngawan nangkesinunganarah-arah de sang tahu. (KLB, II.2c)

Diberikan pengarahan oleh pemerintah di hotel Bali Mulya, Jalan Nangka.

Konvensi Sastra Kakawin LPD Bualu

Kakawin LPD Bualu menggunakan konvensi kakawin yang lahir pada periode sebelumnya, yaitu periode Jawa Timur atau disebut kakawin mayor sehingga pengelompokan bait menggunakan sistem pupuh. Artinya, tiap pupuh menggunakan metrum yang sama. Berganti pupuh berarti berganti metrum.

Dalam pemenuhan konvensi guru laghu dalam Kakawin LPD Bualu, terdapat banyak kosa kata yang disesuaikan penulisannya. Oleh sebab itu, pemenuhan arti kata kadang terabaikan. Berikut ini adalah beberapa contoh penggunaan kata yang penulisannya disesuaikan untuk pemenuhan konvensi guru laghu.

sìnanggêh → sinanggêh

makà → maka

warà → wara 

nathà → nàtha

dwipà → dwìpa

Selain konvensi guru laghu, pemilihan jenis metrum yang digunakan dalam Kakawin LPD Bualu juga menarik untuk disimak. Pengarang Kakawin LPD Bualu memilih menggunakan metrum-metrum yang sering diresitasikan oleh penikmat karya sastra kakawin. Metrum tersebut antara lain, Úàrdhùlawikrìdhita (metrum pertama dalam Kakawin Arjunawiwaha), Ràgakusuma, Basantatilaka, Sragdhara, Påtwitala, Aswalalita, Kilayumanêdêng, Rajani, Tebusol, Wangsasta, Rahitiga, Sikarini, Jagaddhita (metrum pertama dalam Kakawin Bhàratayuddha)Jenis-jenis metrum tersebut sangat digemari oleh penikmat sastra kakawin di Bali. Oleh karena itu, boleh jadi pengarang lebih memilih menggunakan metrum tersebut sebagai upaya mendekatkan karyanya kepada pembaca.

Latar Budaya Kakawin LPD Bualu

Kakawin LPD Bualu diciptakan sezaman dengan kakawinkakawin bertema sastra sejarah lainnya, seperti Kakawin Bali Sabha Langö, Kakawin Bualu Drestalangö, Kakawin Bali Dwipa, dan Kakawin Udayana Mahawidya. Artinya, budaya yang terkandung pada seluruh karya sastra kakawin tersebut memiliki paradigma yang sama, yaitu karya sastra sebagai sebuah dokumentasi sejarah. Lebih dari itu, upaya pemuliaan dan pelestarian nilai-nilai budaya yang terkandung dalam berbagai peristiwa sejarah yang ditulis ke dalam sebuah karya sastra patut diapresiasi.

Upaya dokumentasi berbagai peristiwa bersejarah melalui karya sastra dapat dilihat pada berbagai karya sastra sejarah seperti babad, pamancangah, uwug dan sebagainya. Kehadiran karya sastra kakawin yang mengandung cerita peristiwa sejarah setidaknya mampu melengkapi edisi karya sastra-sejarah. Dengan banyaknya penciptaan sastra kakawin berisi sastra-sejarah maka akan semakin beragam dan bertambah pula khazanah kesusastraan Jawa Kuno dan Bali.

Kakawin LPD Bualu sebagai karya sastra-sejarah berfungsi mendokumentasikan sejarah terbentuknya LPD Bualu, mulai dari tercetusnya ide untuk mendirikan LPD Bualu, pemilihan tempat pendirian LPD, suka dan duka dalam sistem pengelolaan LPD, peresmian hingga perkembangannya hingga saat ini. Pendokumentasian tersebut tentunya sangat berguna untuk kontinuitas informasi sejarah yang termuat di dalamnya. Pewarisan nilai, budaya, adat, dan tradisi yang terkandung di dalam Kakawin LPD Bualu akan terwariskan dengan baik melalui karya tulis berupa karya sastra. Oleh sebab itu, stagnasi budaya tidak akan terjadi.

Simpulan

Kakawin LPD Bualu adalah karya sastra kakawin yang diciptakan di antara tegangan konvensi dan inovasi. Kakawin LPD Bualu tetap mengikuti konvensi kakawin yang ada sebelumnya. Namun, berinovasi dengan tema yang disesuaikan dengan semangat zaman yang ada pada saat karya itu diciptakan.  Boleh jadi, pewarisan nilai sejarah melalui sebuah karya sastra kakawin merupakan semangat zaman yang muncul pada periode akhir abad XX sampai dengan awal abad XXI. 

Putu Ari Suprapta Pratama

Membaca yang direkomendasikan:

Suarka, I Nyoman. 1997. “Kakawin Aji Palayon: Suntingan Teks, Terjemahan, dan Analisis Struktur.” (Tesis S2, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

Suarka, I Nyoman. 2009. Telaah Sastra Kakawin. Denpasar: Pustaka Larasan.

Suastika, I Made. 1997. Calonarang dalam Tradisi Bali. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

About the author(s)

User image

Putu Ari Suprapta Pratama

© Insitu Recordings 2018